Konstitusionalisme Dalam Islam
Dalam bahasa Arab konstitusi
disebut juga dusturi, kata ini
berasal dari bahasa Persia, semula artinya adalah seseorang yang memiliki
otoritas, baik dalam idang politik maupun agama. Dalam perkembangan
selanjutnya, kata ii dilakukan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka
Agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan dalam bahasa arab, kata
dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan[1].
Menurut Istilah,
dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama
antara sesame anggota masyarakat dalam sebuah Negara, baik yang tidak tertulis
(konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi)[2].
Sejarah kemunculan
konstitusi dalam Islam menurut ulama fiqh siyasah, pada awalnya pola hubungan
antara pemerintah dan rakyat ditentukan oleh adat-istiadat, dengan demikian
hubungan antara kedua belah pihak berbeda-beda pada masing-masing Negara,
sesuai dengan perbedaan di amsing-masing Negara.
Akan tetapi karena
adat-istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat
batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak,
akibatnya, karena pemerintah memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah
bersifat absolut dan otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka berlaku
sewenang-wenang dan melanggar hak-hak asasi rakyatnya. Sebagai reaksi, rakyat
pun melakukan pemberontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan
pemerintah yang berkuasa secara absolut.
Sumber tertulis
utama dalam pembentukan undang-undang dasar dalam islam adalah Al-Quran dan
As-Sunnah. Akan tetapi karena memang bukan buku undang-undang, Al-quran tidak
merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan pemimpin dan rakyatnya serta hak
dan kewajiban mereka masing-masing. Al-Quran hanya memuat dasar-dasar atau
prinsip-prinsip umum pemerintahan Islam secara global saja. Ayat-ayat yang
berhbungan dengan kata pemerintahan juga tidak banyak. Ayat-ayat yang global
ini kemudian dijabarkan oleh nabi dalam sunnahnya, baik berbentuk perkataan,
perbuatan maupun takrir atau ketetapannya.
Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai penjelas terhadap
al-qur’an pada tahun ke-2 H di madinah yang mengatur hubungan antara komunitas
Negara madinah yang heterogen,seperti kaum Muhajirin (penduduk Makkah) yang
bersama-bersama hijrah ke madinah,penduduk Anshor,Yahudi dari berbagai suku dan
kelompok serta kaum paganis yang belum
masuk islam. Dalam piagam madinah ditegaskan bahwa umat islam walaupun berasal
dari berbbagai kelompok adalah suatu komunitas.piagam ini juga mebgatur pola
hubungan antara sesama komunitas muslim dengan komunitas non muslim
lainnya.hubungan ini dilandasi atas prinsip-prinsip bertetangga baik,saling
membantu dalam menghadapi musuh bersana,membela orang yang teraniaya,saling
menasehati dan menghormati kebebasan menjalankan agama.
Isi penting dari prinsip piagam madinah ini adalah membentuk suatu
masyarakat yang harmonis, mengatur sebuah umat dan menegakkan pemerintahan atas
dasar persamaan hak. Piagam masinah ini
juga merupakan suatu konstitusi yang telah meletakkan dasar-dasar social
politik bagi masyarakat madinah dalam sebuah pemerintahan dibawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Piagam madinah diangggap oleh para pakar politik sebagai
undang-undang dasar petama dalam Negara Islam yang didirikan oleh nabi
Muhammad.
Setelah nabi Muhammad wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang
mengatur Negara Islam. Umat islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda
pemerinahan, berpedoman kepada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan teladan nabi dalam
sunnahnya.pada masa khalifah yang ke-empat, teladan nabi memang masih dapat
diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang sudah semakin berkembang. Dalam
masa ini, pola peralihan kepemimpinan umat (suksesi) didasrkan pada kecakapan
dan kemampuan fan kemampuan, tidak berdasarkan keturunan. Namun pasca al-khulafa
ar-rasyidin , oleh pemerintahan sudah berubah kebentuk kerajaan yang menentukan
suksesi berdasarkan garis keturunan. Selain itu, dengan semakin meluasnya
wilayah kekuasaan islam, dasar-dasar dan system pemerintahan masing-masing negarapun
berbeda. Dalam hal ini, adat memegang peranan penting dalam mempengaruhi
praktek pemerintahan suatu Negara. Tetapi sebagaimana ditegaskan diatas, belum
ada satupun konstitusi tertulis yang mengatur hubungan antara penguasa dan
rakyat.
Mengenai keontetikan naskah
piagam madinah yang berjumlah 47 pasal setelah pebukaan dapat dilihat dari
aspek-aspek muatannya, bahasanya, dan tinjauan ilmu hadts, dari segi muatan,
sebagian ketetapannya menggambarkan komposisi atau peta sosiologis penduduk
Madinah saat itu dan gambaran tersebut sesuai dengan informasi sejarah dari
sumber lain. Kelompok-kelompok yang disebut dalam teks piagam adalah dari
kelompok muslim, yaitu kaum muhajirin yang berasal dari Quraiys dan rang-orang
Arab muslim dari yatsrib, 1) Banu’ Auf. 2) Banu Saidah. 3) Banu Al-Haritsah 4)
Banu Jusyam 5)Banu Al-Najjar 6) Banu Amr bin Auf 7)Banu Al-Nabit 8) Banu
Al-Aus. Poin satu sampai 5lima adalah golongan khazraj, sedangkan poin enam
sampai 8 dari golongan Al-Aus. Masing-masing masih terbagi kedalam beberapa sub
divis yang disebut tha’ifat (unit keluarga berdasarkan keluarga di suatu
territorial) yang jumlahnya puluhan dan nama-nama mereka tidak disebut. Kaum
yahudi terdiri dari banu Auf, banu Al-Najjar, banu Al-Harits, Banu Saidah, Banu
Jusyam, yang merupakan bagian dari yahudi Qainuqa, Banu Al_aus bagian dari
yahudi Nadhir dan Qainuqa, Banu Tsa’labah, jafnat sub-divis Tsa’labat, Banu
sutaibat, mawalli tsa’labat, orang-orang dekat atau teman kepecayaan (bithanat)
dan golongan Arab musrik. Banu Tsa’labat, menurut Abu Al-Farajh Al-Isfahani
dalam kitab Al-Aghnie adalah suku Yahudi. Ini dibenarkan oleh wensinck dan
disebutnya sebagai golongan tua dari populasi Yahudi. Kelompok-kelompok lain
yang berkaitan dengan banu tsa’labat adalah orang-orang Arab yan bukan golongan
Aus dan Khazraj dan mempunyai hubungan dekat dengan orang yahudi dan mereka
menganut agama yahudi[3].
Disebut undang-undang atau konstitusi, menurut marmaduke pickthal,
karena naskah itu mencerminkan perhatian Muhammad sebagai pemimpinuntuk
menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang Negara (the
constitution of the state) di dalamnya, tulis Muhammad Khalid, terdapat
ketetapan mengenai dasar-dasar Negara islam yang bekerja untuk mengatur satu
umat dan membentuk suatu masyarakat sera menegakkan suatu pemerintahan. Karena
itu, kata Gibb, undang –undang legislative islam yang pertama itu telah
meletakkan dasar-dasar sosio politik untuk mempersatukan penduduk madinah, dan
ia merupakan hasil dari inisiatif nabi, bukan dari wahyu.
Watt, yang menamakan shahifat itu konstitusi madinah, menyatakan
bahwa konstitusi itu telah mempersatukan warga madinah dalam kesatuan politik
tipe baru menjadi satu umat. Dalam sumber lain, watt menyebutkan wujud kesatuan
politik madinah itu merupakan aliansi atau federasi yang dibentuk dari Sembilan
golongan yang berbeda-beda, yaitu delapan suku dari madinah dan satu suku dari
mekkah, kaum muhajirin. Tapi syarat terbentuknya federasi itu, menurutnya,
semua golongan harus menerima Muhammad sebagi Rasulullah, sedangkan posisi
golongan non muslim, yahudi, dan paganis, didalam federasi itu adalah sebagai
subordinasi yang menjadi sekutu dari peserta-peserta utama darifederasi itu.
Kesatuan politik itu baginya, sama seperti federasi suku-suku yang contohnya
didapat dalam sejarah pra Islam dibawah pimpinan orang-orang terkemuka yang
berkualitas[4].
Berdasarkan konklusi, maka harus diakui bahwa piagam Madinah tidak
dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab, di dalamnya tidak ditemui penjelasan
tentang pembagian kekuasaan antara badan legislatuf,eksekutif, dan yudikatif.
Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun demikian ia dapat
disebut dapat disebut konstitusi karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi,yaitu Ia
dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintah masyarakat Madinah
sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh nabi, adanya
ketetapan-ketetapan prinsip-prinsip pemerintah yang fundamental,yaitu mengakui
kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah,
mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka.
Mengenai isi pokok-pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam
konstitusi Madinah, para ahli yang mengkajinya berbeda dalam membuat
rumusannya, Ada yang merumuskan 8 prinsip,10 pokok,4 prinsip,ada yang
merumuskan 7 prinsip,ada yang 5, bahkan ada yang 14 prinsip.Sebagian besar
isinya adalah prinsip kesatuan,tolong menolong, pengakuan hak asasi, kebebasan
beragama, perdamaian, keadilan, musyawarah, pelaksana hukum, kepemimpinan, dan
ketaqwaan
KEDAULATAN TUHAN
Ada beberapa pakar yang berpebdapat bahwa Negara ini ( Negara
islam) yang berdaulat adalah Tuhan. Di masa klasik (dalam konsep perkembangan
zaman islam) diantaranya Nizam al-Mulk al-Tusi(1058-1111) seorang negarawan
yang berhasil memerintah kerajaan di masanya telah berpendapat bahwa raja
memerintah atas dasar anugerah kekuasaan Allah untuk menciptakan kebahagiaan
mahluk di dunia. Karena itu dia memperingatkan
manusia agar selalu ingat bahwa tuhan yang maha kuasa yang telah
menganugerahkan bagi dia kerajaan. Harun nasution dengan mengutip W. Montgomery
Watt yang menyatakan bahwa bani umayyah membenarkan mengatakan “Khalifatullah (
wakil tuhan ) untuk khalifah dan bani abassiyah menamakan “Zhillullah fi
al-Ard” ( bayangan tuhan di permukaan bumi ) menyimpulkan bahwa kata-kata
tersebut mengandung arti bahawa khalifah memperoleh kekuasaannya dari Allah
SWT. Sebagai pemegang kedaulatan mutlak.
Tokoh kontemporer yang berpendapat bahwa kedaulatan Negara berada
pada tuhan adalah Abu al-A’la Maududi dan Ayatullah Khomaini.Maududi
menjelaskan struktur Negara islam bahwa dalam islam Allah sajalah yang memilik
kedaulatan. Namun Maududi tidak menamakan teori ini dengan teokrasi seperti
biasanya dinamakan oleh pakar politik barat, Maududi menamakan dengan teo
demokrasi. Sementara Ayatullah Khomaini mengatakan bahwa pemerintahan islam
adalah pemerintahan berdasarkan hukum. Nabi Muhammad atau siapa saja yang
memerintah adalah merupakan kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah jadi dalam
hal ini sendiri Allah yang memiliki kedaulatan.
KEDAULATAN RAKYAT
Diantara konsep-konsep kedaulatan yang berkembang dikalangan pakar
islam adalah koinsep kedaulatan rakyat. Kendatipun konsep ini banyak yang
menolak namu ada jga pakar islam yang menyetujuinya, baik pakar abad klasik,
pertengahan, maupun pakar simasa kontemporer. Diantara pakar masa klasi adalah
Ibnu Sina dan Al-Mawardi. Ibnu Sina berpendapat bahwa pemilihan kepala Negara
dengan dua cara yaitu:
1.
Dengan pencalonan kepala Negara yang sebelumnya
2.
Denga pilihan oleh pra elit terkemuka yang dipercayai oleh rakyat
Untuk
kelanggengan pengangkatan kepala Negara menurut ibnu Sina seharusnya dibentuk
sebuah undang-undang dasar yang tertulis. Berdasarkan gambaran ini dapat kita
tangkap ibnu Sina Menginginkan kekuasaan rill dari rakyat.
Al-Mawardi, seorang ulama yang hidup pada
abad pertengahan berpendapat hamper sama dengan Ibnu Sina. Al-Mawardi
mengatakan bahwa pemilihan kepala Negara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu.
1.
Dipilih oleh ahlu hall wa al-aqdi
2.
Dengan ditunjuk dengan kepala Negara sebelumnya
Untuk melihat
bagaimana kekuasaan tertinggi diletakkan pada rakyat oleh Al-Mawardi, dapat
dilihat misalnya dari pendapatnya yaitu selain kepala Negara dipilih oleh ahlu
hall wa al-aqdi sebagai wakil masyarakat, kepala Negara juga dapat diturnkan
oleh rakyat bila kepala Negara tersebut tidak mampu lagi menjalankan Negara
secara adil.
Hasan Al-banna
mengatakan bahwa dalam ajaran islam, pada hakikatnya tanggung jawab Negara
adalah pada pemimpin Negara. Kepala Negara boleh bertindak apa yang dianggap
perlu tetapi harus diperhitungkan untuk kepentingan umat. Jika tindakannya baik
uamt harus mendukungnya, tapi jika tidak baik, umat harus meluruskannya.
Pendapat Hasan Al-Banna ini sangat mirip dengan apa yang pernah disampaikan
khalifah islam pertama yaitu Abu Bakar.
0 komentar:
Posting Komentar