Kamis, 27 Februari 2014


      Konstitusionalisme Dalam Islam
Dalam bahasa Arab  konstitusi disebut juga dusturi,  kata ini berasal dari bahasa Persia, semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam idang politik maupun agama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ii dilakukan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka Agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan dalam bahasa arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan[1].
            Menurut Istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesame anggota masyarakat dalam sebuah Negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi)[2].
            Sejarah kemunculan konstitusi dalam Islam menurut ulama fiqh siyasah, pada awalnya pola hubungan antara pemerintah dan rakyat ditentukan oleh adat-istiadat, dengan demikian hubungan antara kedua belah pihak berbeda-beda pada masing-masing Negara, sesuai dengan perbedaan di amsing-masing Negara.
            Akan tetapi karena adat-istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, akibatnya, karena pemerintah memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersifat absolut dan otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka berlaku sewenang-wenang dan melanggar hak-hak asasi rakyatnya. Sebagai reaksi, rakyat pun melakukan pemberontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa secara absolut.
            Sumber tertulis utama dalam pembentukan undang-undang dasar dalam islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Akan tetapi karena memang bukan buku undang-undang, Al-quran tidak merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan pemimpin dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing-masing. Al-Quran hanya memuat dasar-dasar atau prinsip-prinsip umum pemerintahan Islam secara global saja. Ayat-ayat yang berhbungan dengan kata pemerintahan juga tidak banyak. Ayat-ayat yang global ini kemudian dijabarkan oleh nabi dalam sunnahnya, baik berbentuk perkataan, perbuatan maupun takrir atau ketetapannya.
Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai penjelas terhadap al-qur’an pada tahun ke-2 H di madinah yang mengatur hubungan antara komunitas Negara madinah yang heterogen,seperti kaum Muhajirin (penduduk Makkah) yang bersama-bersama hijrah ke madinah,penduduk Anshor,Yahudi dari berbagai suku dan kelompok serta kaum paganis  yang belum masuk islam. Dalam piagam madinah ditegaskan bahwa umat islam walaupun berasal dari berbbagai kelompok adalah suatu komunitas.piagam ini juga mebgatur pola hubungan antara sesama komunitas muslim dengan komunitas non muslim lainnya.hubungan ini dilandasi atas prinsip-prinsip bertetangga baik,saling membantu dalam menghadapi musuh bersana,membela orang yang teraniaya,saling menasehati dan menghormati kebebasan menjalankan agama.
Isi penting dari prinsip piagam madinah ini adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur sebuah umat dan menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak. Piagam masinah  ini juga merupakan suatu konstitusi yang telah meletakkan dasar-dasar social politik bagi masyarakat madinah dalam sebuah pemerintahan dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Piagam madinah diangggap oleh para pakar politik sebagai undang-undang dasar petama dalam Negara Islam yang didirikan oleh nabi Muhammad.
Setelah nabi Muhammad wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur Negara Islam. Umat islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda pemerinahan, berpedoman kepada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan teladan nabi dalam sunnahnya.pada masa khalifah yang ke-empat, teladan nabi memang masih dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang sudah semakin berkembang. Dalam masa ini, pola peralihan kepemimpinan umat (suksesi) didasrkan pada kecakapan dan kemampuan fan kemampuan, tidak berdasarkan keturunan. Namun pasca al-khulafa ar-rasyidin , oleh pemerintahan sudah berubah kebentuk kerajaan yang menentukan suksesi berdasarkan garis keturunan. Selain itu, dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan islam, dasar-dasar dan system pemerintahan masing-masing negarapun berbeda. Dalam hal ini, adat memegang peranan penting dalam mempengaruhi praktek pemerintahan suatu Negara. Tetapi sebagaimana ditegaskan diatas, belum ada satupun konstitusi tertulis yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.
 Mengenai keontetikan naskah piagam madinah yang berjumlah 47 pasal setelah pebukaan dapat dilihat dari aspek-aspek muatannya, bahasanya, dan tinjauan ilmu hadts, dari segi muatan, sebagian ketetapannya menggambarkan komposisi atau peta sosiologis penduduk Madinah saat itu dan gambaran tersebut sesuai dengan informasi sejarah dari sumber lain. Kelompok-kelompok yang disebut dalam teks piagam adalah dari kelompok muslim, yaitu kaum muhajirin yang berasal dari Quraiys dan rang-orang Arab muslim dari yatsrib, 1) Banu’ Auf. 2) Banu Saidah. 3) Banu Al-Haritsah 4) Banu Jusyam 5)Banu Al-Najjar 6) Banu Amr bin Auf 7)Banu Al-Nabit 8) Banu Al-Aus. Poin satu sampai 5lima adalah golongan khazraj, sedangkan poin enam sampai 8 dari golongan Al-Aus. Masing-masing masih terbagi kedalam beberapa sub divis yang disebut tha’ifat (unit keluarga berdasarkan keluarga di suatu territorial) yang jumlahnya puluhan dan nama-nama mereka tidak disebut. Kaum yahudi terdiri dari banu Auf, banu Al-Najjar, banu Al-Harits, Banu Saidah, Banu Jusyam, yang merupakan bagian dari yahudi Qainuqa, Banu Al_aus bagian dari yahudi Nadhir dan Qainuqa, Banu Tsa’labah, jafnat sub-divis Tsa’labat, Banu sutaibat, mawalli tsa’labat, orang-orang dekat atau teman kepecayaan (bithanat) dan golongan Arab musrik. Banu Tsa’labat, menurut Abu Al-Farajh Al-Isfahani dalam kitab Al-Aghnie adalah suku Yahudi. Ini dibenarkan oleh wensinck dan disebutnya sebagai golongan tua dari populasi Yahudi. Kelompok-kelompok lain yang berkaitan dengan banu tsa’labat adalah orang-orang Arab yan bukan golongan Aus dan Khazraj dan mempunyai hubungan dekat dengan orang yahudi dan mereka menganut agama yahudi[3].
Disebut undang-undang atau konstitusi, menurut marmaduke pickthal, karena naskah itu mencerminkan perhatian Muhammad sebagai pemimpinuntuk menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang Negara (the constitution of the state) di dalamnya, tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar Negara islam yang bekerja untuk mengatur satu umat dan membentuk suatu masyarakat sera menegakkan suatu pemerintahan. Karena itu, kata Gibb, undang –undang legislative islam yang pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio politik untuk mempersatukan penduduk madinah, dan ia merupakan hasil dari inisiatif nabi, bukan dari wahyu.
Watt, yang menamakan shahifat itu konstitusi madinah, menyatakan bahwa konstitusi itu telah mempersatukan warga madinah dalam kesatuan politik tipe baru menjadi satu umat. Dalam sumber lain, watt menyebutkan wujud kesatuan politik madinah itu merupakan aliansi atau federasi yang dibentuk dari Sembilan golongan yang berbeda-beda, yaitu delapan suku dari madinah dan satu suku dari mekkah, kaum muhajirin. Tapi syarat terbentuknya federasi itu, menurutnya, semua golongan harus menerima Muhammad sebagi Rasulullah, sedangkan posisi golongan non muslim, yahudi, dan paganis, didalam federasi itu adalah sebagai subordinasi yang menjadi sekutu dari peserta-peserta utama darifederasi itu. Kesatuan politik itu baginya, sama seperti federasi suku-suku yang contohnya didapat dalam sejarah pra Islam dibawah pimpinan orang-orang terkemuka yang berkualitas[4].
Berdasarkan konklusi, maka harus diakui bahwa piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab, di dalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara badan legislatuf,eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun demikian ia dapat disebut dapat disebut konstitusi karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi,yaitu Ia dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintah masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh nabi, adanya ketetapan-ketetapan prinsip-prinsip pemerintah yang fundamental,yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan  masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka.
Mengenai isi pokok-pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi Madinah, para ahli yang mengkajinya berbeda dalam membuat rumusannya, Ada yang merumuskan 8 prinsip,10 pokok,4 prinsip,ada yang merumuskan 7 prinsip,ada yang 5, bahkan ada yang 14 prinsip.Sebagian besar isinya adalah prinsip kesatuan,tolong menolong, pengakuan hak asasi, kebebasan beragama, perdamaian, keadilan, musyawarah, pelaksana hukum, kepemimpinan, dan ketaqwaan

 KEDAULATAN TUHAN
Ada beberapa pakar yang berpebdapat bahwa Negara ini ( Negara islam) yang berdaulat adalah Tuhan. Di masa klasik (dalam konsep perkembangan zaman islam) diantaranya Nizam al-Mulk al-Tusi(1058-1111) seorang negarawan yang berhasil memerintah kerajaan di masanya telah berpendapat bahwa raja memerintah atas dasar anugerah kekuasaan Allah untuk menciptakan kebahagiaan mahluk di dunia. Karena itu dia memperingatkan  manusia agar selalu ingat bahwa tuhan yang maha kuasa yang telah menganugerahkan bagi dia kerajaan. Harun nasution dengan mengutip W. Montgomery Watt yang menyatakan bahwa bani umayyah membenarkan mengatakan “Khalifatullah ( wakil tuhan ) untuk khalifah dan bani abassiyah menamakan “Zhillullah fi al-Ard” ( bayangan tuhan di permukaan bumi ) menyimpulkan bahwa kata-kata tersebut mengandung arti bahawa khalifah memperoleh kekuasaannya dari Allah SWT. Sebagai pemegang kedaulatan mutlak.
Tokoh kontemporer yang berpendapat bahwa kedaulatan Negara berada pada tuhan adalah Abu al-A’la Maududi dan Ayatullah Khomaini.Maududi menjelaskan struktur Negara islam bahwa dalam islam Allah sajalah yang memilik kedaulatan. Namun Maududi tidak menamakan teori ini dengan teokrasi seperti biasanya dinamakan oleh pakar politik barat, Maududi menamakan dengan teo demokrasi. Sementara Ayatullah Khomaini mengatakan bahwa pemerintahan islam adalah pemerintahan berdasarkan hukum. Nabi Muhammad atau siapa saja yang memerintah adalah merupakan kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah jadi dalam hal ini sendiri Allah yang memiliki kedaulatan.

KEDAULATAN RAKYAT

Diantara konsep-konsep kedaulatan yang berkembang dikalangan pakar islam adalah koinsep kedaulatan rakyat. Kendatipun konsep ini banyak yang menolak namu ada jga pakar islam yang menyetujuinya, baik pakar abad klasik, pertengahan, maupun pakar simasa kontemporer. Diantara pakar masa klasi adalah Ibnu Sina dan Al-Mawardi. Ibnu Sina berpendapat bahwa pemilihan kepala Negara dengan dua cara yaitu:
1.      Dengan pencalonan kepala Negara yang sebelumnya
2.      Denga pilihan oleh pra elit terkemuka yang dipercayai oleh rakyat
Untuk kelanggengan pengangkatan kepala Negara menurut ibnu Sina seharusnya dibentuk sebuah undang-undang dasar yang tertulis. Berdasarkan gambaran ini dapat kita tangkap ibnu Sina Menginginkan kekuasaan rill dari rakyat.
      Al-Mawardi, seorang ulama yang hidup pada abad pertengahan berpendapat hamper sama dengan Ibnu Sina. Al-Mawardi mengatakan bahwa pemilihan kepala Negara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu.
1.      Dipilih oleh ahlu hall wa al-aqdi
2.      Dengan ditunjuk dengan kepala Negara sebelumnya
Untuk melihat bagaimana kekuasaan tertinggi diletakkan pada rakyat oleh Al-Mawardi, dapat dilihat misalnya dari pendapatnya yaitu selain kepala Negara dipilih oleh ahlu hall wa al-aqdi sebagai wakil masyarakat, kepala Negara juga dapat diturnkan oleh rakyat bila kepala Negara tersebut tidak mampu lagi menjalankan Negara secara adil.
Hasan Al-banna mengatakan bahwa dalam ajaran islam, pada hakikatnya tanggung jawab Negara adalah pada pemimpin Negara. Kepala Negara boleh bertindak apa yang dianggap perlu tetapi harus diperhitungkan untuk kepentingan umat. Jika tindakannya baik uamt harus mendukungnya, tapi jika tidak baik, umat harus meluruskannya. Pendapat Hasan Al-Banna ini sangat mirip dengan apa yang pernah disampaikan khalifah islam pertama yaitu Abu Bakar.



[1] Muhammd iqbla, fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam.(Jakarta: gaya media Pratama) 2007 hal 153
[2] ibid
[3] Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta) 1994 Hal. 93
[4] Ibid 121

0 komentar:

Posting Komentar