Pada awal-awal sebelum kemerdekaan Indonesia beberapa organisasi
mulai terbentuk, sebagai bentuk perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan
Belanda, sebagian besar organisasi tersebut merupakan pergerakan untuk
meningkatkat hakat dan martabat bangsa Indonesia, pergerakan mereka bergerak
dalam pergerakan politik maupun keagamaan, diantaranya ialah Sarekat Islam
(1912) yang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912),
Persatuan Islam, (1920-an) Nahdlatul Ulama’ (1926), Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (1930), Persatuan Muslimin Indonesia (1930), partai Islam Indonesia
(1938).
Berdirinya organisasi-organisasi tersebut dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan memberi pendidikan
politik bagi umat Islam supaya mereka mengerti dan memperjuangkan hak-hak
mereka, kemudian ada juga organisasi yang lahir
dari keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam Islam, seperti
Muhammadiyah dan Persis[1].
Pada tahun 1926, Soekarno menulis artikel tentang nasionalisme,
Islam dan Marxis. Didalam artikel tersebut, soekarno bukan saja menguraikan
percaturan ketiga ideologi ini dalam percaturan pergerakan masyarakat tetapi
juga memaparkan perbedaan dan persamaan ketiganya. Soekarno akhirnya
mengharapkan agar golongan Islam, Nasionalis, dan Marxis lebih menekankan
persamaan mereka untuk bersatu melawan penjajahan. Tetapi perdebatan ideologis
itu tetap berlanjut. Pada awal 1930-an, muncul usaha untuk mempertemukan
ideologi “Islam dan kebangsaan”, seperti yang diperkenalkan Permi (Persatuan
Muslim Indonesia). Perdebatan ideologis itu mencair setelah pemerintahan Hindia
Belanda memperketat tekanannya, apalagi setelah jatuhnya Hindia Belanda dan
kehadiran pasukan Jepang[2].
Pada masa-masa lahirnya
organisasi-organisasi tersebut, tidak semua sepaham mengenai gagasan-gagasan
yang dibawa oleh organisasi Islam, sebagian masyarakat Indonesia lainnya yang
netral terhadap agama, dan tidak menghendaki Islam memasuki wilayah-wilayah
publik. Sehingga muncul organisasi-organisasi yang netral terhadap agama ,
seperti Budi Oetomo di samping sarekat Islam, Jong Java di samping Jong Islamieten
Bond, Taman Siswa di samping Muhammadiyah dan NU, Pemufakatan Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan gabungan politik Indonesia (GAPI) di
samping Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) serta Jawa Hokokai di sampin Masyumi[3].
Pada tahun 1930-an secara individu perbedaan pandangan juga
terlihat antara Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir, disatu pihak dengan Soekarno
dan kawan-kawan dipihak lain seperti Kartosuwiryo. Perdebatan mengenai hubungan
Islam dan Negara sudah mulai tampak. Dalam perkembangannya Soekarno dengan
Muhammad Natsir dipandang sebagirepresentasi dua pilar pemikiran kenegaraan
Indonesia, yang satu mewakili nasionalis sekuler, sedangkan yang lainnya
mewakili nasionalis Islami.
Perdebatan masalah hubungan agama dan negara mengemuka dan memuncak
pada saat Indonesia menyusun format ideal negara yang akan mengayomi segenap
masyarakatnya, hal ini terjadi beberapa hari sebelum Indonesia mendeklarasikan
kemerdekaannya.
Pada saat masa pendudukan Jepang mulai melemah karena kekalahan-kekalahannya
dalam perang melawan sekutu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia
dalam waktu dekat. Maka pada saat Desember 1944 jepang membentuk Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Untuk pertama
kalinya dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, dalam BPUPKI ini dikaji
masalah-masalah dasar negara, hubungan antara negara, kabinet, dan parlemen.
Di BPUPKI ini pula pengalaman pertama perdebatan ideologis dalam
tataran praktis terjadi ketika akan menyusun dasar negara bagi Indonesia pada
1945, beberapa bulan menjelag kemerdekaan. Dalam sidang-sidangnya, para
pengusung Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan golongan nasionalis
sekuler yang netral agama dan kelompok kebudayaan Jawa yang berasal dari Jawa
Tengah, termasuk dua kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan kelompok
terakhir ini pernah mengadakan rapat tertutup di Magelang untuk membicarakan
pembentukan kerajaan (Indonesia) dengan sultan Yogyakarta sebagai kepala
negaranya. Namun demikian, karena akhirnya sadar bahwa ide ini akan mengalami
resistensi yang kuat dan mereka lebih memilih untuk bergabung dengan kelompok
nasionalis netral agama[4].
Menurut Prawoto, salah seorang tokoh Masyumi, seperti dikutip
Maarif, dari 65 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili
aspirasi golongan islam. Selebihnya menolak islam sebagai dasar negara.
Tokoh-tokoh yang memperjuangkan Islam antara lain KH. A. Sanusi, Ki Bagus
Hadikusumo, K.H Mas Mansur , K.H A. Wahid Hasyim, Sukiman Wirdjosandjojo, dan
Haji Agus Salim. Adapun yang mendukung pemisahan agama dari negara antara lain
adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodinongrat, Ahmad Subardjo,
Mohammad Yamin, Soepomo, dan Wongsonegoro[5].
Nasionalis Muslim atau yang secara islami mengilhami orang-orang
nasionalis, menginginkan Indonesia yang merdeka berlandaskan Islam, dan itu
mengimplikasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (islamic State of Indonesia). Akan tetapi nasionalis sekuler, yang
kebanyakan non muslim, menolak gagasan di atas, sehubungan dengan kenyataan
bahwa, ada juga non muslim yang turut berjuang melawan kolonialis. Nasionalis
sekuler juga mengingatkan bahwa menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara
Islam sama saja dengan merendahkan, secara tidak adil, penganut agama lain
kedalam warga negara kelas dua[6].
Soekarno nasionalis sekuler paling terkemuka, yang menjadikan
presiden pertama Republik ini, menawarkan suatu kompromi dengan merujuk secara
bersama-sama, pada unsur-unsur kecendrungan ideologis manusia, dan beliaulah yang
mengenalkan ide Pancasila, yaitu
Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasinalisme Demokrasi, dan keadilan Sosial. Pada 5 Juli
1945, hari ketika Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal di depan PPKI
guna menjelaskan secara terperinci ke-Lima Sila di atas, kemudian oleh sebagian
bangsa Indonesia dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila. Namun sebenarnya
pada 22 Juni 1945 lah Pancasila menemukan bentuk yang paling sempurna, yakni
tatkala PPKI merumuskan konsep Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yang dikenal
sebagai Piagam Jakarta. Dalam piagam tersebut menyebutkan bahwa Indonesia
berdasarkan: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan
Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan, perwakilan; (5) keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana dinyatakan dalam sila
pertama, hal terpenting menyangkut Piagam Jakarata adalah menyatakan ketentuan
bahwa Hukum Islam atau Syariat akan dijalankan oleh negara. Dengan demikian
pada hakikatnya Islam adalah agama negara Indonesia. Dokumen tersebut ditanda
tangani oleh 9 pemimpin Indonesia yang paling terkemuka, delapan diantaranya
beraga Islam dan seorang beragama Kristen, yaitu A.A. Maramis.
Pada saat sehari setelah pembacaan teks proklamasi pada tanggal 18
Agustus 1945 PPKI melangsungkan rapat untuk merumuskan konstitusi, ada
informasi yang menyatakan bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi
Utara, tanah kelahiran AA. Maramis, secara serius menolak ungkapan dalam piagam
tersebut yang menyatakan: “ketuhanan
dengan ketetapan tertentu kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Muhammad Hatta, yang memimpin rapat itu, setelah
berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hasan dan kasman Singodimejo, dua pemimpin
Muslim terkemuka, menghapus ungkapan tujuh kata dari piagam jakarta yang menjadi keberatan
dimaksud. Sebgai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo (yang menjadi ketua
gerakan pembaharu Islam Muhammadiyah), ditambahkan sebuah ungkapan baru dalam
sila Ketuhan, sehingga berbunyi Keuhanan Yang Maha Esa[7].
Bukan hanya dari kalangan Kristen Sulawesi, penolakan juga terjadi
dari daerah bagian timur, Hatta mendapatkan informasi dari seorang perwira
Angkatan laut Jepang bahwa rakyat Kristen dibagian timur tidak akan ikut serta
dalam negara Indonesia apabila tujuh kata tersebut tetap dipertahankan dalam
Konstitusi. Mereka memang menyadari bahwa rumusan tersebut tidak mempengaruhi
kehidupan mereka sedikitpun, tetapi mereka merasa rumusan tersebut merupakan
diskriminasi. Di samping itu AA Maramis yang merupakan tokoh Kristen dalam
dalam panitia 9 juga ikut menyetujui.
Namun ia khawatir kalau-kalu apa yang dikhawatirkan perwira Jepang tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Karena itulah,
pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta
mengundang tokoh-tokoh Islam yang vokal menyuarakan tujuh kata tersebut untuk
meninjau kembali rumusan piagam Jakarta, yang diantaranya ialah, Hatta, Ki
Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Muhammad Hasan dari Sumatera[8].
Dari dialog tersebut akhirnya wakil-wakil Islam dapat menerima saran Hatta.
Ada sejumlah dugaan mengenai mengapa para wakil golongan Islam
dengan mudah menerima penghapusan piagam Jakarta-sebuah Modus Vivendi konstitusional,
yang untuk mencapainya mereka harus tanpa lelah di BPUPKI. Pertama, dimasukkannya
kata “Yang Maha Esa” dapat dilihat sebgai langkah simbolis untuk menunjukkan
kehadiran unsur monoteistik (tauhid) Islam dalam ideologi negara. Kedua, situasi
yang berlangsung menyusul proklamasi kemerdekaan mengharuskan para pendiri
republik bersatu menghadapi masalah lain. Yng terpenting diantaranya ialah
upaya pemerintah Belanda yang sudah diantisipasinya untuk menduduki kembali Hindia Belanda[9].
Dapat disimpulkan bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia, umat Islam
mengalami kegagalan dalam perjuangan mereka menjadikan Islam Integral dalam
kehidupan berbangsa. Meskipun pada awalnya syariat Islam sempat menjadi acuan
dalam kehidupan bernegara, umat Islam sempat menjadi Acuan dalam kehidupan
bernegara, umat Islam harus rela mengorbankan keinginan mereka dan menerima rumusan yang lain. Yaitu,
Ketuhan Yang Maha Esa. Memang, sebagaimana pandangan para tokoh Islam, rumusan
tersebut mencerminkan ekspresi tauhid umat Islam. Namun ada saja yang kurang
puas dari sebagian lainnya, sehingga mereka berupaya secara terus menerus untuk
memperjuangkannya. Inilah yang kemudian menjadi babak awal dari sebuah
pergumulan ideologi antara hubungan negara dan agama, selanjutnya kita akan
masuk kedalam babak kedua setelah terbentuknya bentuk negara Indonesia.
Menurut beberapa cendikiawan muslim seperti Fachri Ali, Bachtiar
Efendi dan Achmad Syafiie Ma’arif menganggap bahwa diterimanya ideologi negara
pancasila dan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakara merupakan kekalahan
pilitik Islam[10].
Pada perkembangan pemerintahan Soekarno di indonesia dibagi menjadi
dua masa, yaitu:
Pertama, Masa Demokrasi Liberal (1945-1949), yaitu masa demokrasi
(konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta serta partai-partai
dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi parlementer. Yang kemudia
diperkuat dengan UUD 1949 dan 1950[11].
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun awal-awal kemerdekaan
memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang yang menghalangi hubungan
politik antara arus intelektual aktivis islam dan kelompok nasionalis.
Perdebatan diantara keduanya mengenai hubungan agama dan negara seperti
terhenti.paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini melupakan perbedaan
ideologis diantara mereka. Tampaknya muncul kesadaran pada masa itu para
pendiri republik harus menumpahkan seluruh energi dan kemampuan untuk mempertahankan
republik Indonesia yang baru berdir dan mencegah Belanda memasuki kembali Hidia
Belanda.
Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak belanda pada Desember
1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya yang besar
dalam percaturan politik nasional.melalui Masyumi sebuah federasi organisasi
Islam dan belakangan diubah menjadi partai politik bagi umat Islam pada 7
November 1945, kelompok Islam berhasil memobilisasi kekuatan politik cukup
besar.
Prediksi Sutan Sjahrir menyatakan bahwa jika pemilu diadakan pada
tahun-tahun antara tahun1945-1950-an, kemungkinan Masyumi yang pada saat itu
merupakan gabungan kalangan muslim modernis (seperti Muhammadiyah dengan jumlah
yang besar di perkotaan) dan kalangan tradisionalis (NU dengan jumlah anggotanya
terbesar di wilayah pedesaan) akan memperoleh kemenangan dengan memperoleh
kemenangan meraih 80% suara[12].
Dalam pada masa sistem parlementer ditimbulkan kesan bahwa
partai-partai Islam dalam kosalisi kurang dewasa menghadapi tanggung jawab
mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak partai-partai Islam dalam
barisan oposisi (Masyumi) tidak mampu berperan sebagai oposisi yang
konstrukstif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan
segi-segi negatif dari tugas oposisi[13].
Sarana perjuangan politik yang
paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua
kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era
Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi
partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya
merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai
baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua
kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang
yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat parta besar pemenang pemilu yaitu
PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup
menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler
mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD
perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan
dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang
sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh
sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan
didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan
Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir
setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap
berdasarkan pancasila[14].
Suasana diatas setidaknya
menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan
upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang
dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa
politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik
antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan
pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan
aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler.
Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan
kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan
legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam
Kedua, Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), diawali dengan dekrit
Presiden 5 Juli 1959, dengan dekrit ini Presiden Soekarno mebubarkan
konstituante hasil pemilu 1955, dan menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari
demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan
menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan
terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri.
Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya
poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari
keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.
Keluarnya dekrit Presiden
tersebut menandai gagalnya kembali perjuangan dan upaya nasionalis Islam
untuk melakukan formalisasi Islam ke dalam ketata negaraan Indonesia.
Perjuangan tokoh-tokoh Islam yang dijamin secara konstitusional dalam wadah
konstituante berakhir dengan kekecewaan oleh keputusan sepihak Soekarno yang
mengeluarkan dekrit[15].
Menurut Syafiie Maarif masa ini adalah proses kristalisasi, yang
ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap
kebijakan Soekarno tersebut (hingga desember 1960) dan periode kolaborasi yang
ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi
terpimpin, termasuk dengan komunis yang termasuk kedalam pilar penyangganya
(hingga pecahnya G 30 S/PKI 1965)
Pada masa-masa ini patai Islam (Masyumi) oleh Soekarno dianggap
duri dalam daging yang mengganggu jalannya revolusi dan harus disingkirkan,
karena dianggap banyak terlibat pemberontakan-pemberontkan yang terjadi di Jawa
Barat (DI) yang dimotori oleh Imam Kartosuwryo , Aceh (DI) yang dimotori oleh
Daud Beureuh, Sulawesi (DI) yang dimotori oleh Kahar Muzakkar, dan Kalimantan.
Karenanya Soekarno mengambil sikap tegas dengan membungkam pemimpin dan
tokoh-tokoh Masyumi, yang akhirnya banyak para tokoh tersebut dijebloskan
kedalam penjara sampai pada tahun 1965 dengan gagalnya pemberontakan PKI,
tokoh-tokoh tersebut menikmati kebebasannya.
Sebaliknya partai Islam lainnya seperti NU, PSII, dan Perti,
berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut, bersikap
akomodatif sehingga bisa berdampingan dengan Soekarno dan betahan dalam alam
demokrasi terpimpinnya Soekarno. Bagi NU masuk kedalam sistem demokrasi
terpimpin lebih baik dan akan lebih mudah mewarnai dari pada di luar sistem.
Masa Republik Indonesia (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila
yang merupaka demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
Sejak terjadinya G30S PKI tahun
1965, kedudukan Soekarno semakin kritis yang mengakibatkan ia harus mengeluarkan
Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) untuk menugaskan Soeharto mengambil
segala tindakan guna menyelamatkan negara, yakni membubarkan PKI dan menangkap
semua mentri yang terlibat. Pada Bulan Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum ke
IV yang menetapkan SUPERSEMAR sah di mata hukum dan mengembalikan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Hal ini mengakibatkan konsensus nasional
dimana semua kelompok partai mesti berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945.
Di Kalangan Umat Islam , kemenangan
terhadap G30S PKI dianggap sebagai kesempatan untuk merehabilitasi Masyumi
sehingga bisa memperjuangkan Islam melalui jalan politik. Dengan dibebaskannya
para tokoh Masyumi yang dipenjarakan Soekarno (Muhammad natsir, Sjafrudin
Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, Prawoto mangkusasmito, dan
Hamka) makin memperbesar harapan mereka untuk merhabilitasi Masyumi tidak akan
lama lagi, maka dibentuklah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal
Muslimin, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan merealisasikan harapan
tersebut.
Akan tetapi Orde baru menolak
terbentuknya Masyumi,tidak menyerah begitu saja pada pertengahan 1967, para
tokoh masyumi akhirnya membentuk panitia tujuh untuk bernegosiasi dengan
pemerintahan Orde baru mengenai kemungkinan didirikannya partai baru. Akhirnya
hal tersebut dapat diterima oleh Orde baru dengan batasan-batasan tertentu,
Partai tersebut baru bisa diterima jika para tokoh-tokoh Masyumi yang senior
tidak menduduki posisi kepemimpinan di dalamnya. Akhirnya terbentuklah Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tanggal 20 Februari 1968 dibawah pimpinan
Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dua aktivis Muhammadiyah. Akan tetapi para
elite Masyumi tidak puas dan melakukan kongres dimalang yang kemudian Muhammd
Roem terpilih sebagai pemimpin Masyumi, namun Orde Baru menolak hasil Kongres
tersebut, akhirnya para elite lebih memilih ikut kehendak Orde Baru dari pada
akhirnya pemerintah Orba membubarkan parta tersebut.
Sebagai gantinya, tanggal 20 Februari 1968, Surat keputusan presiden No 70/68 mengesahkan partai Muslimin
Indonesia ( Parmusi).
Kemudian muncul penyederhanaan
partai yang di kelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti :
1.
Kelompok Nasionalis (PNI, IPKI,
Murba ) menjadi Partai Demokrasi Indonesia(PDI)
2.
Kelompok Spiritual (NU , PMI (
Parmusi ) PSII ,Perti, Parkindo dan Khatolik di lebur menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) .Belakangan karena Parkindo dan Katolik berbeda agama maka
mereka berafiliasi dengan nasionalis.
3.
Golongan Karya.
Pada masa orde baru,
umat islam berhasil menggalang persatuan, sehingga pada pemilu tahun 1971
perolehan kursi partai mendapat 94 kursi. Dan pemilu tahun 1977 PPP meraih 99 kursi namun dikarenakan menghadapi
pembagian kursi di DPR/MPR dan sikap politik yang berbeda sehingga menimbulkan
ketegangan. Akibatnya, pada pemilu 1982 perolehan kursi PPP menurun dan pembagian
kursi NU merasa dirugikan.
Akibatnya, dalam muktamar ke-24 tahun
1984 NU keluar dari PPP dan kembali ke organisasi sosial. Sehingga pada pemilu
tahun 1987 PPP mengalami ke merosotan yang luar biasa.
Sesudah asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk
mengatasi berbagai macam masalah, seperti:
1.
Monopoli
pengelolaan perjalanan haji.
2.
Pelaksanaan
hukum islam (RUU perkawinan) 1973. Yang
dipandang oleh banyak kalangan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, yan
kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan, terutama oleh
pemuda-pemuda muslim yang kemudian menduduki DPR untuk beberapa lama dan
akhirnya kompromi dicapai denga dicabutnya dan/atau dimodifikasinya beberapa
butir yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
3.
Dalam
sidang MPR pemerintah menaikkan satus aliran kepercayaan menjadi sama dengan
posisi agama seperti Islam dan Kristen. Presiden Soeharto yang juga muslim
tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama. Pada tahun 1979 aliran
kepercayaan ini kemudian secara resmi diakui sebagai salah satu unsur
kebudayaan Indonesia, karena itu kemudiaan secara resmi pengawasannya berada
dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan, dan bukan kepada departemen
keagamaan
4.
Masalah
antara umat dengan pemerintah yang semakin berkembang, sehingga memunculkan MUI
pada tahun 1975.
5.
Masalah
ekonomi pemerintah membuat Bazis (badan amil zakat infaq shodaqoh) kemudian dibentuk
juga koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan rakyat, seperti NU mendirikan
bank Nusuma dan Muhammadiyah mendirikan
bank Matahari. Selanjutnya berdiri lah bank islam pertama tanpa bunga, yakni
bank Muamalat
6.
Di
berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no 8/
1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas tunggal yang berarti dilarang
mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Akibatnya,
partai islam PPP harus benghapus asas islamnya dan menjadi partai nasionalis
tanpa ciri islam. Sementara sikap NU sejak dini bisa menerima pancasila sebagai
asas tunggal. Sedangkan dalam
muhammadiyah lebih berhati-hati dalam menerima asas tunggal tersebut.
Termasuk didalamnya kemudian organisasi mahasiswa seperti NU, Muhammadiyah, HMI
dan PMII harus menerima pancasila sebagai organisasi mereka.
Dari
berbagai kebijakan-kebijakan tersebut perdebatan Ideologi antara agama dan
negara seperti yang yang dulu sangat di gencarkan, menjadi sangat lemah dan
tidak berdaya dibawah kepemimpinan Soeharto yang otoriter, mereka hanya
memiliki dua pilihan ikut atau diberantas, kepemimpin Soeharto selama 32 tahun
benar-benar dibilang berhasil dalam membungkam perdebatan-perdebatan anatara
hubungan agama dan negara. Maka masa ini lagi-lagi merupakan kekalahan umat
Islam yang mengusung negara Islam.
Namun,
Soeharto adalah seorang yang dikatakan melanjutkan politik Snouck Hurgronje
yang berpendapat bahwa umat islam harus diberi fasilitas, sehingga umat
tersebut berkembang dalam bidang sosial keagamaan saja tetapi dibidang politik
tidak di beri kesempatan. Soeharto dalam pemerintahannya semakin jauh kearah
kekerasan. Parai politik pemerintah, Golkar merekayasa pemilu tahun 1971 dan
meraih 63 suara. Golkar menarik pendukung dari mantan komunis, PNI, masyumi dan
NU sehingga menyebabkan Golkar semakin kokoh mendominasi kekuatan politik.
Kemudian Soeharto dengan kkuatan ABRI nya merekayasa segala macam cara sehingga
dapat berkuasa selama 32 tahun. Akibatnya KKN merajalela, hutang negara dalam jumlah
besar, dan hancurnya etikan nasional. Sehingga negeri dan bangsa ini mengalami
kebangkrutan dan kebobrokan moral.
Aziz
Thaba, mengelompokkan dalam bukunya Islam dan Negara dalam Politik orde Baru
mengenai hubungan antara islam dan politik Orde Baru menjadi tiga, pertama;
hubungan yang bersifat antagonistik
(1966-1981) masa dimana Orde baru membungkam politik Islam, Kedua; Masa
hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985) yang ditandai dengan
saling memperlajari dan saling memahami posisi masing-masing, Ketiga, Masa
akomodasi orde baru (1986-1998), pada masa ini dimana umat Islam semakin
memahami bahwa kebijakan negara tidak akan menjauhkan mereka dari ajaran Islam[16].
Pada
19 mei 1998 tejadi unjuk rasa besar-besaran oleh mahasiswa yang menduduki
gedung DPR/ MPR dan menginginkan agar Soeharto turun dari jabatannya. Akhirnya
pada 21 mei 1998 Soeharto
resmi mengundurkan diri dan digantikan oleh BJ
Habibie yang menjadi wakil presiden pada masa itu[17
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang
otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca orde baru yang
demokratis. Hal itu tercermin dari sikap akomodatif pemerintahan Presiden habibie yang
berlangsung selama 2 tahun kurang, terlihat dari lahirnya UU islam yang
berkenaan dengan zakat, UU penyelenggaraan haji dan dari kebebasan mendirikan
partai politik. Hal ini ditandai dengan kenyataan munculnya tidak kurang dari
150 partai politik baru dalam kurun waktu enam bulan. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti
pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Parta Persatuan pembangunan
(PPP) yang berganti asas kepada Islam dan tanda gambar kembali menjadi ka’bah.
Partai Golongan Karya (Golkar) mempertegas statusnya menjadi partai politik.
Dari 48 partai tersebut, sebagian
menganut pancasila sebagai asas, sebagian menganut islam, satu menganut asas
demokrasi religius (Partai Uni Demokrasi Indonesia, Pimpinan Sri Bintang
Pamungkas) dan satu menganut asas sosial demokrasi kerakyatan (Partai Rakyat
Demokratik Pimpinan Budiman Sdjatmiko).
Partai-partai yang merupakan
kelanjutan partai-partai Islam 1955 adalah; dikalangan NU terdapat Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Pimpinan Matori Abdul Djalil, Partai Kebangkitan Umat
(PKU) pimpinan KH Yusuf Hasjim, Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Pimpinan KH.
Syukron Makmun. Namun hanya PKB yang diakui oleh bdurrahman Wahid,
Partai yang berbasis Masyumi juga
demikian. Ada tiga partai yang emiliki hubungan emosional dan Psikologis ddan
Masyumi 1955, yaitu partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PII-Masyumi)
pimpinan Abdullah Hehamahua, Partai Masyumi baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi,
dan Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
Sementara PSII, ada dua partai yang
memiliki hubungan historis dengan pimpinan HOS Cokroaminoto yang lahir 10
September 1905 tersebut. Seperti diketahui pada masa Orba, PSII bergabung dalam
PPP. Lalu pada masa reformasi PSII kembali didirikan pada 29 Mei 1998 oleh
Taufiq R. Cokroaminoto. Sementara PSII yang lain bernama Partai Serikat Islam
indonesia 1905(PSII 1905) yang didirikan di Jakarta 21 Mei oleh KH. Ohan
Sudjana.
Di sisi lain, partai islam produk
Orba, PPP, juga terbagi menjadi dua, yaitu PPP sendiri pimpinan Hamza haz, dan Partai
Persatuan, pimpinan politisi kawakan J. Naro. Bahkan dalam perkembangannya,
akibat konflik kepentingan di tubuh partai, PPP terpecah lagi dengan munculnya
PPP reformasi yang menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah pimpinan KH.
Zainuddin MZ.
Selain itu partai-partai yang tidak
memiliki historis pada partai 1955 dan kemudian secara tegas menyatakan partai
Islam dan memakai asas Islam dan mayoritas konstituennya umat Islam, yaitu;
Partai Umat islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, Partai keadilan (PK) pimpinan Nur
Mahmudi Ismail, dan Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI) yang dipimpin
oleh Syamharil. Sementara partai yang tidak menjadikan Islam sebagai asasnya
namun berbasis massa muslim adalah Partai Amanat Nasional oleh M. Amien Rais
dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) pimpinan H. Anwar Junus[18].
Keadaan ini juga mempengaruhi ulama
untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan
partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti kampanye pemilu 1999
ada beberapa Ulama NU yang membela partai PKB
Selain
Ulama-Ulama NU , ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda Masyumi
yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dengan PAN
dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah,sedangkan PBB
ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para mahasiswa dan halqah
kampus turut mendirikan partai Islam , yaitu Partai Keadilan (belakangan PKS)
yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus Timur Tengah.
Kehadiran ulama
dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan
sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena
ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian
rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan
dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan
dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan memperlemah kekuatan
umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain[19].
Perolehan
partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan
pemilu 1955. Gabungan partai islam pada pemilu 1955 sebesar 43,7% sedangkan
total partai Nasionalis sebanyak 51,7%. Pada pemilu 1999,total suara parta
Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36,8%. Pada 2004 lalu, suara
partai Islam naik menjadi 38,1%. Perlu dicatat, total suara ini masih
memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara
partai Islam lebih sedikit[20].
Pada pemilu tahun 2009 partai islam belum mampu mendongkrak suaranya untuk
melebihi suara partai-partai nasionalis, terbukti pada tahun 2009 partai
Demokrat berhasil memenangkan pemilu.
Menurut
Denny J. A ada empat penyebab mengapa yang menang pemilu 1999 adalah berbagai
partai yang terbuka:
Pertama; masih
berlanjutnya apa yang disebut Geertz dengan dkhotomi islam santri abangan.
Dalam pemilu 1955, jumlah Islam abangan lebih dari 50%. Jumlah ini diambil dari
pemilih Islam yang tidak menyalurkan suaranya ke partai Islam. Kelompok Islam
abangan ini lebih tergetar oleh partai yang berasaskan nasionalisme dan
kerakyatan.
Kedua; Islam
santri mengalami perubahan. Islam santri dilabelkan kepada penganut Islam yang
taat secara ritual, dan digerakkan oleh sentimen keislaman. Namun sejak orde
baru, terjadi mobilisasi kesejahteraan ekonomi serta pendidikan. Sebagian
mereka terekpose ke dunia global, simbol modernisasi dan ideologi dunia
sepertidemokrasi. Mereka mungkin menjadi motor reformasi dan pluralisme. Akibatnya
sebagian dari Islam santri ini tidak pula tergerak memberikan suara mereka ke
partai yang berasakan Islam. Mereka cenderung memberikan suaranya kepada partai
terbuka, seperti PAN, Golkar, atau PKB.
Ketiga; pengaruh
pemikiran para tokoh Islam. Tiga tokoh yang paling berpengaruh saat itu adalah
Gusdur, Nurcholis Madjid, dan Amien Rais. Gusdur adalah pemimpin organisasi
Islam terbesar NU. Amien Rais Pemimpin Muhammadiyah, sedangkan Nurcholis Madjid
kini menjadi suhu dalam komunitas Islam yang pandangannya banyak didengar.
Massa Islam yang dipengaruhi oleh mereka tidak memberikan suaranya ke partai
yang berasakan Islam. Jika takzim kepada Gusdur suara mereka berikan kepada
PKB, jika kagum terhadap Amien Rais mereka berikan suaranya ke PAN, jika mereka
terpesona terhadap Nurcholis Madjid, bukan partai Islam pula yang beliau
dukung. Nurcholis sejak dulu memberikan “fatwa” bahwa “Islam Yes; Partai
Islam, no”. Dan Nurcholis Madjid bukanlah pendukung negara Islam, beliau
lebih memilih Islam dengan nilai-nilainya yang kemudian diterapkan di dalam
negara.
Keempat; variable
terakhir adalah derasnya arus reformasi. Umumnya kaum kelas menengah lebih
memilih partai yang terbuka, dengan alasan bahwa kelas menengah kota sudah lama
diromantisasi oleh isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan reformasi. Mereka
menyadari bahwa isu itu melampaui batas dan sekat agama. Partai terbuka lebih
sesuai dengan reformasi yang berlandaskan pluralisme, ketimbang partai Islam.
Kemarahan mereka lebih dapat ditampung oleh berbagai tokoh yang sudah terlanjur
dilabel reformis, seperti Megawati, Gusdur, dan Amien Rais, yang pada waktu itu menjadi pemimpin partai
terbuka[21].
Sedangkan
bagi kelas kebawah, keterimpitan ekonomi dan ketidakpuasan atas kesejahteraan
membuat mereka menjadi golongan pemarah yang antisistem. Kemarahan mereka lebih
dapat ditampung oleh berbagai tokoh yang sudah terlanjur dilabel reformis.
Islam adalah agama samawi terakhir yang diturunkan untuk melengkapi
agama-agama samawi yang sebelumnya, sehingga agama ini banyak diyakini oleh
berbagai kalangan sebagai agama yang lengkap, dalam artian bahwasanyya agama
islam adalah agama yang mengurusi semua bentuk muamalah, bahkan dalam bernegara
Islam juga sudah mengatur akan hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Dalam pandangan pemikir klasik Al-mawardi berpendapat bahawanya
kenegaraan adalah adalah berfungsi untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam
rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imamah
menurutnya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ulama. Pandangannya
didasarkan pula pada realitas sejarah khulafaur rasyidun dan khalifah-khalifah
sesudahnya, baik dari bani Umayyah maupun bani Abbasiyah, yang merupakan
lambang kesatuan politik umat islam. Pandangannya ini juga sejalan dengan
kaidah ushul yang menyatakan ma la yatimmul al-wajib illa bihi, fahuwa
wajib, (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat,
maka sarana atau alat itu hukumnya wajib)[22].
Begitu juga dengan ibnu Khaldun yang mendukung imamah sebagai
sistem kenegaraan yang yang kemudian berimplikasi pada penerapan syariat
sebagai konstitusi yang berlaku. Bagi Ibnu Khaldun agama merupakan faktor
penting dalam yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan dalam masyarakat.
Agama harus disatukan dalam solidaritas kelompok, sehingga mampu kontribusi
yang nyata bagi kekuasaan politik. Sebaliknya, bila agama dan solidaritas
kelompok ini dipertentangkan, maka yang terjadi adalah disintegerasi. Jadi kalu
solidaritas kelompok merupakan perintis bagi eksistensi suatu negara, maka
agama agama akan menjadi penopang kekuasaan (negara) tersebut[23].
Dalam pandangan para pemikir modern, Al-Maududi dan Shakib yang dikenal
di kalangan orang-orang Perancis –sebagai golongan l’integrist (di dunia
Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists) itu, menganggap bahwa Islam
harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Sebagai
landasan, pandangan itu selalu menggunakan ayat dalam kitab suci
al-Qur’ân: “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan
Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi
kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu lakum dîinakum wa
atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-Islâma dîna)” (QS al-Maidah
[5]:3). Menurut pandangan ini, Islam hanya akan tampak dan berarti kalau
ia menjadi sebuah sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara
formal. Maka, dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam[24].
Salah
satu pemikir muslim yang mendukung tentang penerapan syariat Islam ialah Hasan
Al-Banna, Kiprah Hasan Al Banna adalah mendirikan organisasi pergerakan Islam
yang bernama Ikhwanul Muslimin pada Bulan Zulqa’dah 1347 H atau tanggal 20
Maret 1928 di kota ismailiyah. Ikhwanul Muslimin bertujuan mengamalkan Islam
secara murni dan konsekwen. Pada Muktamar ketiga ditetapkan dasar ideologi
Ikhwanul Muslimin yaitu : (1) Islam sebuah sistem yang total, lengkap dan harus
dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan muslim (2) Ajaran Islam harus
didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits (3) Ajaran Islam bisa dilaksanakan setiap
tempat dan waktu.
Kaitannya dengan diskursus
keberlakuan syariat dan negara islam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa antara
negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karena perjuangan politik untuk
menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan. Pemerintah Islam tegak siatas kaidah-kaidah yang sudah popular.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan kerangka pokok pemerintahan Islam,
kaidah-kaidah itu adalah tanggung jawab pemerintahan, kesatuan masyarakat dan
sikap saling menghargai aspirasi rakyat[25].
Pegangan golongan formalis dalam
Islam adalah ayat: “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû
fi al-silmi kâffah)” (QS al Baqarah [2]:208), yang berarti kalau Anda
menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguhsungguh dan tak
tanggung-tanggung. Para formalis mengartikan kata “al-silmi” di sini,
dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran
ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin (terutama
para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita
diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi
semua orang, termasuk kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang
berbunyi: “Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan
dengan sesama umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li
al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya [21]:107). Ini jika para ahli tafsir mengartikan
kata “al-‘âlamîn” dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk
yang ada di dunia[26].
Perkembangan pemikiran politik Islam
dan membahas masalah agama dan negara semakin meluas dan sangat alot
diperdebatkan, para pemikir-pemikir tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, pertama: kelompok yang mendukung negara islam, salah
satu tokohnya adalah Muhammad Rasyid Ridha, kelompok kedua: adalah kelompok
yang mendukung sekulerisme yaitu memisahkan agama dan negara salah satu
tokohnya adalah Mustafa Kemal Attaturk, Ali Abduuraziq, dan thaha Husein,
kelompok ketiga adalah yang menolak kelompok pertama dan kedua, menurut mereka
Islam hanya memberikan seperangkat nilai-nilai politik yang harus diterapkan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi umatnya. Karena itu , umat Islam dapat mengadopsi politik barat, sejauh
tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam tersebut. Salah satu
tokohnya ialah Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal
Dalam perjalanannya sampa masuk era
modern mengenai negara banyak para cendikiawan meragukan mengenai islam apakah
konsep Islam tentang negara? Menurut Abdurrahman Wahid tiadanya pendapat yang
baku dalam dunia Islam tentang dua hal: Pertama, Islam tidak mengenal pandangan
yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin, Rasulullah
Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa
itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar
bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari,
semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw
melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala
suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari
malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas
kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau,
yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan
wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang
Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan
berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih(electoral
college -ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari tujuh orang,
termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau.
Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala
negara/kepalapemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi
jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian,
sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam
Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam
politik” dianggap sebagai prototype
pemerintahan
harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami[27]”.
Menurut Nurcholis Madjid mengutip
pendapat Ibnu taimiyah, pandangan kaum Sunni tentang Nabi yang tidak menunjuk
calon pengganti, adalah bukti nyata bahwa Muhamma adalah seorang rasul Allah,
bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atupun kekayaan, yang jika bukan
untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya. Nabi Muhammad menjalankan
kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik sebagai seorang imam, seperti
pengertian fih siyasah yang dikembangkan oleh kaum Syiah, melainkan sebagai
utusan Allah semata. Ketaatan kepada Nabi, bukan didasarkan kekuasaan politik
melainkan karena kedudukan sebagai pengemban misi suci untuk seluruh umat
manusia, sepanjang masa. Itu sebabnya dalam argumen kaum Sunni, Nabi tidak
pernah menunjuk seorang pengganti[28].
Dalam perjalanan perpolitikan indonesia yang tidak lepas dari
perdebatan mengenai ideologi mengenai apakah negara indonesia akan menggunakan
sistem negara Islam yang diperjuangkan oleh para tokoh-tokoh nasionalis Islam,
atau menggunakan sistem negara yang diusung oleh tokoh nasionalis lainnya.
Perjalanan yang panjang dan sangat dilematis, mengingat bangsa indonesia
merupakan negara yang mayoritas Islam dan merupakan bangsa yang terdiri dari
banyaknya komunitas-komunitas yang berbeda-beda, semua jenis keberagaman yang
ada di Indonesia semuanya memiliki kepercayaan dan kebudayaan yang sudah
mengakar sangat dalam di bumi Indonesia ini, maka tidak heran jika kemudian
perdebatan-perdebatan yang merupakan representasi dari buah pikiran yang sudah
mengakar pada perjalan panjang Indonesia.
Maka dari kesimpulan yang penulis simpulkan dengan mengutip seperti
yang digambarkan Bolland yang ditulis dalam buku Islam-Negara, Transformasi
Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, karangan Yayan Sopyan,
Indonesia merupakan merupakan konsep jalan tengah, dimana agama merupakan
elemen dari nation building dan character building. Negara
Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler yang memandang
agama hanya sebatas masalah pribadi.
Pancasila merupakan sebuah falsafah yang memberikan solusi bagi
keduanya, falsafah yang berada di semua golongan, dapat diterima di berbagai
kelompok agama dan kelompok paham ideologi. Sila pertama adalah sebuah bentuk
toleransi yang sangat besar untuk terciptanya sebuah kerukunan, karena
ketuhanan merupakan hal yang paling mendasar dan sangat sensitif jika sedikit
saja diusik. Maka dengan Ketuhanan yang Maha Esa masing-masing agama dan
kepercayaan memiliki lingkupnya yang universal, berlaku untuk seluruh umat
manusia sehingga terasa sulit untuk dibatasi hanya pada sisi ke Indonesiaan
saja. Ketuhanan yang maha esa juga bertujuan untuk mengikat unsur-unsur dalam
kehidupan berbangsa, sehingga tidak terjadi sesuatu yang dapat memecah kesatuan
bangsa sendiri.
Mengutip pendapat Nurcholis Madjid, politik Islam bukanlah dalam
Islam bukanlah bagian syariah (dalam arti sempit), tetapi berdampingan
dengannya. Wacana politik Islam pada dasarnya lebih mendekati failasuf dengan
dinamika dan wataknya sendiri, yang letak konsep Islam mengenai politik itu
kebenarannya kira-kira ada di antara pendulum ekstrem sekulerisme a la ’Ali
Abdul raziq dan teokrasinya Sayyid Qutb dan Maududi[29].
Dalam pandangan inilah Islam membenarkan belajar dan mencontoh siapa
saja termasuk dari mereka yang bukan muslim, asalkan nuktah-nktah pentingnya
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar keIslaman. Misalnya, masalah
demokrasi yang dewasa ini meskipun diakui banyak kekurangannya, adalah suatu
warisan kemanusiaan yang tiada ternilai harganya yang sampai sekarang pun belum
ditemukan alternatif yang lebih baik dalam hal cara penataan kehidupan
berpolitik.
Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta:
Era Inter Media, 1999)
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthoniyah,
(Beirut: Dar al Fikr,t.tp.)
Basyaib, Hamid dan Hamid Abidin, ed. Mengapa Partai Islam
Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden. (Jakarta:
Alvabet, 1999)
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. (jakarta:
PT. Gramedia Pustaka utama)
Efendy, Bahtiar dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk,
ed. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara. (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt)
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam Dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontempore., (Jakarta:
Kencana, 2010)
Rachman, Budhy Munawwar, dalam Raja Suaedy dan raja Juli
Anthony, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan gerakan Islam Asia Tenggara, (SEAMUS,
t.tp.)
Maarif, Ahmad Syafiie, Islam dan Masalah Kenegaraan
Percaturan Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1986)
Ma’arif, Ahmad Syafi’ie, Islam
dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S,1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama kemanusiaan, membangun
Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 2010)
Madjid, Nurcholis, Cendikiawan dan Religiusitas
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2009)
Muhtadi, Burhanuddin, Perang Bintang 2014 Konstelasi dan
Prediksi Pemilu dan Pilpres. (Jakarta: Noura Books, 2013)
Sopyan, Yayan. Islam-Negara, Transformasi Perkawinan Islam
Dalam Hukum Nasional. (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah jakarta,
2011)
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama
Masyarakat NegaraDemokrasi. (Jakarta: The Wahid Institute, 2006)
[1] Muhammad
Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 254
[2] Bahtiar
Efendy dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk, ed, Ensiklopedia Tematis
Dunia Islam, Asia Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt) Hal.
431-432
[3] Muhammad
Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 254-255
[4] Muhammad
Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 259
[5] Ahmad
Syafiie Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Percaturan Konstituante, (Jakarta:
LP3ES, 1986) Hal. 102
[6]
Nurcholis Madjid, Islam Agama kemanusiaan, membangun Tradisi dan Visi baru
Islam Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 2010) Hal. 4
[7]
Nurcholis Madjid...Hal. 4-5
[8] Muhammad
Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 260
[9] Bahtiar
Efendy dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk, ed, Ensiklopedia Tematis
Dunia Islam, Asia Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt) Hal.
433
[10] Yayan
Sopyan, Islam-Negara, Transformasi Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. (Tanggerang
Selatan: UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2011). Hal. 42
[12] Bahtiar
Efendy dan Ali Munhanif...Hal. 436
[13] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka
utama), Hal. 128
[15]
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 265
[16] Yayan
Sopyan...48-55
[17] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,),hal.76-88
[18]
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 298-300
[19] Musyrifah
Sunanto...Hal. 89-91
[20]
Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014 Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan
Pilpres. (Jakarta: Noura Books, 2013). Hal. 76
[21]
Denny J. A. Dalam Hamid Basyaib dan hamid Abidin, ed. Mengapa Partai Islam
Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden. (Jakarta:
Alvabet, 1999). Hal. 199
[22] Al-Mawardi,
Al-Ahkam Al-Sulthoniyah, (Beirut: Dar al Fikr,t.tp.) Hal, 5
[23]
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal, 50
[24]
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat
NegaraDemokrasi. (Jakarta: The Wahid Institute, 2006) Hal 74
[25] Hasan
Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta: Era Inter
Media, 1999) Hal. 298
[26]
Abdurrahman Wahid...Hal 72
[27]
Abdurrahman Wahid...Hal 82-83
[28] Budhy
Munawwar Rachman, dalam Raja Suaedy dan raja Juli Anthony, ed. Para
Pembaharu Pemikiran dan gerakan Islam Asia Tenggara, (SEAMUS) Hal. 136
[29]
Nurcholis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 2009). Hal. 60