Kamis, 27 Februari 2014


Pada awal-awal sebelum kemerdekaan Indonesia beberapa organisasi mulai terbentuk, sebagai bentuk perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan Belanda, sebagian besar organisasi tersebut merupakan pergerakan untuk meningkatkat hakat dan martabat bangsa Indonesia, pergerakan mereka bergerak dalam pergerakan politik maupun keagamaan, diantaranya ialah Sarekat Islam (1912) yang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam, (1920-an) Nahdlatul Ulama’ (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan Muslimin Indonesia (1930), partai Islam Indonesia (1938).
Berdirinya organisasi-organisasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan memberi pendidikan politik bagi umat Islam supaya mereka mengerti dan memperjuangkan hak-hak mereka, kemudian ada juga organisasi yang lahir  dari keinginan untuk mengadakan pembaharuan  pemikiran keagamaan dalam Islam, seperti Muhammadiyah dan Persis[1].
Pada tahun 1926, Soekarno menulis artikel tentang nasionalisme, Islam dan Marxis. Didalam artikel tersebut, soekarno bukan saja menguraikan percaturan ketiga ideologi ini dalam percaturan pergerakan masyarakat tetapi juga memaparkan perbedaan dan persamaan ketiganya. Soekarno akhirnya mengharapkan agar golongan Islam, Nasionalis, dan Marxis lebih menekankan persamaan mereka untuk bersatu melawan penjajahan. Tetapi perdebatan ideologis itu tetap berlanjut. Pada awal 1930-an, muncul usaha untuk mempertemukan ideologi “Islam dan kebangsaan”, seperti yang diperkenalkan Permi (Persatuan Muslim Indonesia). Perdebatan ideologis itu mencair setelah pemerintahan Hindia Belanda memperketat tekanannya, apalagi setelah jatuhnya Hindia Belanda dan kehadiran pasukan Jepang[2].
 Pada masa-masa lahirnya organisasi-organisasi tersebut, tidak semua sepaham mengenai gagasan-gagasan yang dibawa oleh organisasi Islam, sebagian masyarakat Indonesia lainnya yang netral terhadap agama, dan tidak menghendaki Islam memasuki wilayah-wilayah publik. Sehingga muncul organisasi-organisasi yang netral terhadap agama , seperti Budi Oetomo di samping sarekat Islam, Jong Java di samping Jong Islamieten Bond, Taman Siswa di samping Muhammadiyah dan NU, Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan gabungan politik Indonesia (GAPI) di samping Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) serta Jawa Hokokai di sampin Masyumi[3].
Pada tahun 1930-an secara individu perbedaan pandangan juga terlihat antara Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir, disatu pihak dengan Soekarno dan kawan-kawan dipihak lain seperti Kartosuwiryo. Perdebatan mengenai hubungan Islam dan Negara sudah mulai tampak. Dalam perkembangannya Soekarno dengan Muhammad Natsir dipandang sebagirepresentasi dua pilar pemikiran kenegaraan Indonesia, yang satu mewakili nasionalis sekuler, sedangkan yang lainnya mewakili nasionalis Islami.
Perdebatan masalah hubungan agama dan negara mengemuka dan memuncak pada saat Indonesia menyusun format ideal negara yang akan mengayomi segenap masyarakatnya, hal ini terjadi beberapa hari sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya.
Pada saat masa pendudukan Jepang mulai melemah karena kekalahan-kekalahannya dalam perang melawan sekutu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat. Maka pada saat Desember 1944 jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, dalam BPUPKI ini dikaji masalah-masalah dasar negara, hubungan antara negara, kabinet, dan parlemen.
Di BPUPKI ini pula pengalaman pertama perdebatan ideologis dalam tataran praktis terjadi ketika akan menyusun dasar negara bagi Indonesia pada 1945, beberapa bulan menjelag kemerdekaan. Dalam sidang-sidangnya, para pengusung Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang netral agama dan kelompok kebudayaan Jawa yang berasal dari Jawa Tengah, termasuk dua kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan kelompok terakhir ini pernah mengadakan rapat tertutup di Magelang untuk membicarakan pembentukan kerajaan (Indonesia) dengan sultan Yogyakarta sebagai kepala negaranya. Namun demikian, karena akhirnya sadar bahwa ide ini akan mengalami resistensi yang kuat dan mereka lebih memilih untuk bergabung dengan kelompok nasionalis netral agama[4].
Menurut Prawoto, salah seorang tokoh Masyumi, seperti dikutip Maarif, dari 65 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi golongan islam. Selebihnya menolak islam sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan Islam antara lain KH. A. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H Mas Mansur , K.H A. Wahid Hasyim, Sukiman Wirdjosandjojo, dan Haji Agus Salim. Adapun yang mendukung pemisahan agama dari negara antara lain adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodinongrat, Ahmad Subardjo, Mohammad Yamin, Soepomo, dan Wongsonegoro[5].
Nasionalis Muslim atau yang secara islami mengilhami orang-orang nasionalis, menginginkan Indonesia yang merdeka berlandaskan Islam, dan itu mengimplikasikan berdirinya  Negara Islam Indonesia (islamic State of Indonesia). Akan tetapi nasionalis sekuler, yang kebanyakan non muslim, menolak gagasan di atas, sehubungan dengan kenyataan bahwa, ada juga non muslim yang turut berjuang melawan kolonialis. Nasionalis sekuler juga mengingatkan bahwa menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam sama saja dengan merendahkan, secara tidak adil, penganut agama lain kedalam warga negara kelas dua[6].
Soekarno nasionalis sekuler paling terkemuka, yang menjadikan presiden pertama Republik ini, menawarkan suatu kompromi dengan merujuk secara bersama-sama, pada unsur-unsur kecendrungan ideologis manusia, dan beliaulah yang mengenalkan  ide Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasinalisme Demokrasi, dan keadilan Sosial. Pada 5 Juli 1945, hari ketika Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal di depan PPKI guna menjelaskan secara terperinci ke-Lima Sila di atas, kemudian oleh sebagian bangsa Indonesia dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila. Namun sebenarnya pada 22 Juni 1945 lah Pancasila menemukan bentuk yang paling sempurna, yakni tatkala PPKI merumuskan konsep Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam piagam tersebut menyebutkan bahwa Indonesia berdasarkan: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan; (5) keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana  dinyatakan dalam sila pertama, hal terpenting menyangkut Piagam Jakarata adalah menyatakan ketentuan bahwa Hukum Islam atau Syariat akan dijalankan oleh negara. Dengan demikian pada hakikatnya Islam adalah agama negara Indonesia. Dokumen tersebut ditanda tangani oleh 9 pemimpin Indonesia yang paling terkemuka, delapan diantaranya beraga Islam dan seorang beragama Kristen, yaitu A.A. Maramis.
Pada saat sehari setelah pembacaan teks proklamasi pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melangsungkan rapat untuk merumuskan konstitusi, ada informasi yang menyatakan bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran AA. Maramis, secara serius menolak ungkapan dalam piagam tersebut  yang menyatakan: “ketuhanan dengan ketetapan tertentu kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Muhammad Hatta, yang memimpin rapat itu, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hasan dan kasman Singodimejo, dua pemimpin Muslim terkemuka, menghapus ungkapan tujuh kata dari  piagam jakarta yang menjadi keberatan dimaksud. Sebgai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo (yang menjadi ketua gerakan pembaharu Islam Muhammadiyah), ditambahkan sebuah ungkapan baru dalam sila Ketuhan, sehingga berbunyi Keuhanan Yang Maha Esa[7].
Bukan hanya dari kalangan Kristen Sulawesi, penolakan juga terjadi dari daerah bagian timur, Hatta mendapatkan informasi dari seorang perwira Angkatan laut Jepang bahwa rakyat Kristen dibagian timur tidak akan ikut serta dalam negara Indonesia apabila tujuh kata tersebut tetap dipertahankan dalam Konstitusi. Mereka memang menyadari bahwa rumusan tersebut tidak mempengaruhi kehidupan mereka sedikitpun, tetapi mereka merasa rumusan tersebut merupakan diskriminasi. Di samping itu AA Maramis yang merupakan tokoh Kristen dalam dalam panitia 9  juga ikut menyetujui. Namun ia khawatir kalau-kalu apa yang dikhawatirkan perwira Jepang tersebut  benar-benar menjadi kenyataan. Karena itulah, pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam yang vokal menyuarakan tujuh kata tersebut untuk meninjau kembali rumusan piagam Jakarta, yang diantaranya ialah, Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Muhammad Hasan dari Sumatera[8]. Dari dialog tersebut akhirnya wakil-wakil Islam dapat menerima saran Hatta.
Ada sejumlah dugaan mengenai mengapa para wakil golongan Islam dengan mudah menerima penghapusan piagam Jakarta-sebuah Modus Vivendi konstitusional, yang untuk mencapainya mereka harus tanpa lelah di BPUPKI. Pertama, dimasukkannya kata “Yang Maha Esa” dapat dilihat sebgai langkah simbolis untuk menunjukkan kehadiran unsur monoteistik (tauhid) Islam dalam ideologi negara. Kedua, situasi yang berlangsung menyusul proklamasi kemerdekaan mengharuskan para pendiri republik bersatu menghadapi masalah lain. Yng terpenting diantaranya ialah upaya pemerintah Belanda yang sudah diantisipasinya  untuk menduduki kembali Hindia Belanda[9].
Dapat disimpulkan bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia, umat Islam mengalami kegagalan dalam perjuangan mereka menjadikan Islam Integral dalam kehidupan berbangsa. Meskipun pada awalnya syariat Islam sempat menjadi acuan dalam kehidupan bernegara, umat Islam sempat menjadi Acuan dalam kehidupan bernegara, umat Islam harus rela mengorbankan keinginan mereka  dan menerima rumusan yang lain. Yaitu, Ketuhan Yang Maha Esa. Memang, sebagaimana pandangan para tokoh Islam, rumusan tersebut mencerminkan ekspresi tauhid umat Islam. Namun ada saja yang kurang puas dari sebagian lainnya, sehingga mereka berupaya secara terus menerus untuk memperjuangkannya. Inilah yang kemudian menjadi babak awal dari sebuah pergumulan ideologi antara hubungan negara dan agama, selanjutnya kita akan masuk kedalam babak kedua setelah terbentuknya bentuk negara Indonesia.
Menurut beberapa cendikiawan muslim seperti Fachri Ali, Bachtiar Efendi dan Achmad Syafiie Ma’arif menganggap bahwa diterimanya ideologi negara pancasila dan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakara merupakan kekalahan pilitik Islam[10].
Pada perkembangan pemerintahan Soekarno di indonesia dibagi menjadi dua masa, yaitu:
Pertama, Masa Demokrasi Liberal (1945-1949), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi parlementer. Yang kemudia diperkuat dengan UUD 1949 dan 1950[11].
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun awal-awal kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang yang menghalangi hubungan politik antara arus intelektual aktivis islam dan kelompok nasionalis. Perdebatan diantara keduanya mengenai hubungan agama dan negara seperti terhenti.paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Tampaknya muncul kesadaran pada masa itu para pendiri republik harus menumpahkan seluruh energi dan kemampuan untuk mempertahankan republik Indonesia yang baru berdir dan mencegah Belanda memasuki kembali Hidia Belanda.
Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak belanda pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya yang besar dalam percaturan politik nasional.melalui Masyumi sebuah federasi organisasi Islam dan belakangan diubah menjadi partai politik bagi umat Islam pada 7 November 1945, kelompok Islam berhasil memobilisasi kekuatan politik cukup besar.
Prediksi Sutan Sjahrir menyatakan bahwa jika pemilu diadakan pada tahun-tahun antara tahun1945-1950-an, kemungkinan Masyumi yang pada saat itu merupakan gabungan kalangan muslim modernis (seperti Muhammadiyah dengan jumlah yang besar di perkotaan) dan kalangan tradisionalis (NU dengan jumlah anggotanya terbesar di wilayah pedesaan) akan memperoleh kemenangan dengan memperoleh kemenangan meraih 80% suara[12].
Dalam pada masa sistem parlementer ditimbulkan kesan bahwa partai-partai Islam dalam kosalisi kurang dewasa menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak partai-partai Islam dalam barisan oposisi (Masyumi) tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstrukstif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi[13].
Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat parta besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
             Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila[14].
Suasana diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam
Kedua, Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), diawali dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan dekrit ini Presiden Soekarno mebubarkan konstituante hasil pemilu 1955, dan menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945. Masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.
Keluarnya dekrit Presiden  tersebut menandai gagalnya kembali perjuangan dan upaya nasionalis Islam untuk melakukan formalisasi Islam ke dalam ketata negaraan Indonesia. Perjuangan tokoh-tokoh Islam yang dijamin secara konstitusional dalam wadah konstituante berakhir dengan kekecewaan oleh keputusan sepihak Soekarno yang mengeluarkan dekrit[15].
Menurut Syafiie Maarif masa ini adalah proses kristalisasi, yang ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut (hingga desember 1960) dan periode kolaborasi yang ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis yang termasuk kedalam pilar penyangganya (hingga pecahnya G 30 S/PKI 1965)
Pada masa-masa ini patai Islam (Masyumi) oleh Soekarno dianggap duri dalam daging yang mengganggu jalannya revolusi dan harus disingkirkan, karena dianggap banyak terlibat pemberontakan-pemberontkan yang terjadi di Jawa Barat (DI) yang dimotori oleh Imam Kartosuwryo , Aceh (DI) yang dimotori oleh Daud Beureuh, Sulawesi (DI) yang dimotori oleh Kahar Muzakkar, dan Kalimantan. Karenanya Soekarno mengambil sikap tegas dengan membungkam pemimpin dan tokoh-tokoh Masyumi, yang akhirnya banyak para tokoh tersebut dijebloskan kedalam penjara sampai pada tahun 1965 dengan gagalnya pemberontakan PKI, tokoh-tokoh tersebut menikmati kebebasannya.
Sebaliknya partai Islam lainnya seperti NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut, bersikap akomodatif sehingga bisa berdampingan dengan Soekarno dan betahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. Bagi NU masuk kedalam sistem demokrasi terpimpin lebih baik dan akan lebih mudah mewarnai dari pada di luar sistem.
Masa Republik Indonesia (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupaka demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
Sejak terjadinya G30S PKI tahun 1965, kedudukan Soekarno semakin kritis yang mengakibatkan ia harus mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) untuk menugaskan Soeharto mengambil segala tindakan guna menyelamatkan negara, yakni membubarkan PKI dan menangkap semua mentri yang terlibat. Pada Bulan Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum ke IV yang menetapkan SUPERSEMAR sah di mata hukum dan mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Hal ini mengakibatkan konsensus nasional dimana semua kelompok partai mesti berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945.
Di Kalangan Umat Islam , kemenangan terhadap G30S PKI dianggap sebagai kesempatan untuk merehabilitasi Masyumi sehingga bisa memperjuangkan Islam melalui jalan politik. Dengan dibebaskannya para tokoh Masyumi yang dipenjarakan Soekarno (Muhammad natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, Prawoto mangkusasmito, dan Hamka) makin memperbesar harapan mereka untuk merhabilitasi Masyumi tidak akan lama lagi, maka dibentuklah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan merealisasikan harapan tersebut.
Akan tetapi Orde baru menolak terbentuknya Masyumi,tidak menyerah begitu saja pada pertengahan 1967, para tokoh masyumi akhirnya membentuk panitia tujuh untuk bernegosiasi dengan pemerintahan Orde baru mengenai kemungkinan didirikannya partai baru. Akhirnya hal tersebut dapat diterima oleh Orde baru dengan batasan-batasan tertentu, Partai tersebut baru bisa diterima jika para tokoh-tokoh Masyumi yang senior tidak menduduki posisi kepemimpinan di dalamnya. Akhirnya terbentuklah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tanggal 20 Februari 1968 dibawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dua aktivis Muhammadiyah. Akan tetapi para elite Masyumi tidak puas dan melakukan kongres dimalang yang kemudian Muhammd Roem terpilih sebagai pemimpin Masyumi, namun Orde Baru menolak hasil Kongres tersebut, akhirnya para elite lebih memilih ikut kehendak Orde Baru dari pada akhirnya pemerintah Orba membubarkan parta tersebut.
 Sebagai gantinya, tanggal  20 Februari 1968, Surat keputusan  presiden No 70/68 mengesahkan partai Muslimin Indonesia ( Parmusi).
Kemudian muncul penyederhanaan partai yang di kelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti :
1.      Kelompok Nasionalis (PNI, IPKI, Murba ) menjadi Partai Demokrasi Indonesia(PDI)
2.      Kelompok Spiritual (NU , PMI ( Parmusi ) PSII ,Perti, Parkindo dan Khatolik di lebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) .Belakangan karena Parkindo dan Katolik berbeda agama maka mereka berafiliasi dengan nasionalis.
3.      Golongan Karya.
Pada masa orde baru, umat islam berhasil menggalang persatuan, sehingga pada pemilu tahun 1971 perolehan kursi partai mendapat 94 kursi. Dan pemilu tahun 1977 PPP  meraih 99 kursi namun dikarenakan menghadapi pembagian kursi di DPR/MPR dan sikap politik yang berbeda sehingga menimbulkan ketegangan. Akibatnya, pada pemilu 1982 perolehan kursi PPP menurun dan  pembagian  kursi  NU merasa dirugikan. Akibatnya, dalam  muktamar ke-24 tahun 1984 NU keluar dari PPP dan kembali ke organisasi sosial. Sehingga pada pemilu tahun 1987 PPP mengalami ke merosotan yang luar biasa.
            Sesudah asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk mengatasi berbagai macam masalah, seperti:
1.      Monopoli pengelolaan perjalanan haji.
2.      Pelaksanaan hukum islam (RUU perkawinan) 1973.  Yang dipandang oleh banyak kalangan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, yan kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan, terutama oleh pemuda-pemuda muslim yang kemudian menduduki DPR untuk beberapa lama dan akhirnya kompromi dicapai denga dicabutnya dan/atau dimodifikasinya beberapa butir yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
3.      Dalam sidang MPR pemerintah menaikkan satus aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Presiden Soeharto yang juga muslim tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama. Pada tahun 1979 aliran kepercayaan ini kemudian secara resmi diakui sebagai salah satu unsur kebudayaan Indonesia, karena itu kemudiaan secara resmi pengawasannya berada dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan, dan bukan kepada departemen keagamaan
4.      Masalah antara umat dengan pemerintah yang semakin berkembang, sehingga memunculkan MUI pada tahun 1975.
5.      Masalah ekonomi pemerintah membuat Bazis (badan amil zakat infaq shodaqoh) kemudian dibentuk juga koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan rakyat, seperti NU mendirikan bank Nusuma dan Muhammadiyah  mendirikan bank Matahari. Selanjutnya berdiri lah bank islam pertama tanpa bunga, yakni bank Muamalat
6.      Di berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no 8/ 1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Akibatnya, partai islam PPP harus benghapus asas islamnya dan menjadi partai nasionalis tanpa ciri islam. Sementara sikap NU sejak dini bisa menerima pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan dalam  muhammadiyah lebih berhati-hati dalam menerima asas tunggal tersebut. Termasuk didalamnya kemudian organisasi mahasiswa seperti NU, Muhammadiyah, HMI dan PMII harus menerima pancasila sebagai organisasi mereka.
Dari berbagai kebijakan-kebijakan tersebut perdebatan Ideologi antara agama dan negara seperti yang yang dulu sangat di gencarkan, menjadi sangat lemah dan tidak berdaya dibawah kepemimpinan Soeharto yang otoriter, mereka hanya memiliki dua pilihan ikut atau diberantas, kepemimpin Soeharto selama 32 tahun benar-benar dibilang berhasil dalam membungkam perdebatan-perdebatan anatara hubungan agama dan negara. Maka masa ini lagi-lagi merupakan kekalahan umat Islam yang mengusung negara Islam.
Namun, Soeharto adalah seorang yang dikatakan melanjutkan politik Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa umat islam harus diberi fasilitas, sehingga umat tersebut berkembang dalam bidang sosial keagamaan saja tetapi dibidang politik tidak di beri kesempatan. Soeharto dalam pemerintahannya semakin jauh kearah kekerasan. Parai politik pemerintah, Golkar merekayasa pemilu tahun 1971 dan meraih 63 suara. Golkar menarik pendukung dari mantan komunis, PNI, masyumi dan NU sehingga menyebabkan Golkar semakin kokoh mendominasi kekuatan politik. Kemudian Soeharto dengan kkuatan ABRI nya merekayasa segala macam cara sehingga dapat berkuasa selama 32 tahun. Akibatnya KKN merajalela, hutang negara dalam jumlah besar, dan hancurnya etikan nasional. Sehingga negeri dan bangsa ini mengalami kebangkrutan dan kebobrokan moral.
Aziz Thaba, mengelompokkan dalam bukunya Islam dan Negara dalam Politik orde Baru mengenai hubungan antara islam dan politik Orde Baru menjadi tiga, pertama;  hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981) masa dimana Orde baru membungkam politik Islam, Kedua; Masa hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985) yang ditandai dengan saling memperlajari dan saling memahami posisi masing-masing, Ketiga, Masa akomodasi orde baru (1986-1998), pada masa ini dimana umat Islam semakin memahami bahwa kebijakan negara tidak akan menjauhkan mereka dari ajaran Islam[16].
Pada 19 mei 1998 tejadi unjuk rasa besar-besaran oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR/ MPR dan menginginkan agar Soeharto turun dari jabatannya. Akhirnya pada 21 mei 1998 Soeharto
 resmi mengundurkan diri dan digantikan oleh BJ Habibie yang menjadi wakil presiden pada masa itu[17 
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari sikap akomodatif  pemerintahan Presiden habibie yang berlangsung selama 2 tahun kurang, terlihat dari lahirnya UU islam yang berkenaan dengan zakat, UU penyelenggaraan haji dan dari kebebasan mendirikan partai politik. Hal ini ditandai dengan kenyataan munculnya tidak kurang dari 150 partai politik baru dalam kurun waktu enam bulan.   Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Parta Persatuan pembangunan (PPP) yang berganti asas kepada Islam dan tanda gambar kembali menjadi ka’bah. Partai Golongan Karya (Golkar) mempertegas statusnya menjadi partai politik.
Dari 48 partai tersebut, sebagian menganut pancasila sebagai asas, sebagian menganut islam, satu menganut asas demokrasi religius (Partai Uni Demokrasi Indonesia, Pimpinan Sri Bintang Pamungkas) dan satu menganut asas sosial demokrasi kerakyatan (Partai Rakyat Demokratik Pimpinan Budiman Sdjatmiko).
Partai-partai yang merupakan kelanjutan partai-partai Islam 1955 adalah; dikalangan NU terdapat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Pimpinan Matori Abdul Djalil, Partai Kebangkitan Umat (PKU) pimpinan KH Yusuf Hasjim, Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Pimpinan KH. Syukron Makmun. Namun hanya PKB yang diakui oleh bdurrahman Wahid,
Partai yang berbasis Masyumi juga demikian. Ada tiga partai yang emiliki hubungan emosional dan Psikologis ddan Masyumi 1955, yaitu partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PII-Masyumi) pimpinan Abdullah Hehamahua, Partai Masyumi baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi, dan Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
Sementara PSII, ada dua partai yang memiliki hubungan historis dengan pimpinan HOS Cokroaminoto yang lahir 10 September 1905 tersebut. Seperti diketahui pada masa Orba, PSII bergabung dalam PPP. Lalu pada masa reformasi PSII kembali didirikan pada 29 Mei 1998 oleh Taufiq R. Cokroaminoto. Sementara PSII yang lain bernama Partai Serikat Islam indonesia 1905(PSII 1905) yang didirikan di Jakarta 21 Mei oleh KH. Ohan Sudjana.
Di sisi lain, partai islam produk Orba, PPP, juga terbagi menjadi dua, yaitu PPP sendiri pimpinan Hamza haz, dan Partai Persatuan, pimpinan politisi kawakan J. Naro. Bahkan dalam perkembangannya, akibat konflik kepentingan di tubuh partai, PPP terpecah lagi dengan munculnya PPP reformasi yang menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah pimpinan KH. Zainuddin MZ.
Selain itu partai-partai yang tidak memiliki historis pada partai 1955 dan kemudian secara tegas menyatakan partai Islam dan memakai asas Islam dan mayoritas konstituennya umat Islam, yaitu; Partai Umat islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, Partai keadilan (PK) pimpinan Nur Mahmudi Ismail, dan Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI) yang dipimpin oleh Syamharil. Sementara partai yang tidak menjadikan Islam sebagai asasnya namun berbasis massa muslim adalah Partai Amanat Nasional oleh M. Amien Rais dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) pimpinan H. Anwar Junus[18].
Keadaan ini juga mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti kampanye pemilu 1999  ada  beberapa Ulama  NU  yang membela partai PKB
Selain Ulama-Ulama NU , ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah,sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para mahasiswa dan halqah kampus turut mendirikan partai Islam , yaitu Partai Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus Timur Tengah.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan  memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain[19].
            Perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan pemilu 1955. Gabungan partai islam pada pemilu 1955 sebesar 43,7% sedangkan total partai Nasionalis sebanyak 51,7%. Pada pemilu 1999,total suara parta Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36,8%. Pada 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38,1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit[20]. Pada pemilu tahun 2009 partai islam belum mampu mendongkrak suaranya untuk melebihi suara partai-partai nasionalis, terbukti pada tahun 2009 partai Demokrat berhasil memenangkan pemilu.
Menurut Denny J. A ada empat penyebab mengapa yang menang pemilu 1999 adalah berbagai partai yang terbuka:
Pertama; masih berlanjutnya apa yang disebut Geertz dengan dkhotomi islam santri abangan. Dalam pemilu 1955, jumlah Islam abangan lebih dari 50%. Jumlah ini diambil dari pemilih Islam yang tidak menyalurkan suaranya ke partai Islam. Kelompok Islam abangan ini lebih tergetar oleh partai yang berasaskan nasionalisme dan kerakyatan.
Kedua; Islam santri mengalami perubahan. Islam santri dilabelkan kepada penganut Islam yang taat secara ritual, dan digerakkan oleh sentimen keislaman. Namun sejak orde baru, terjadi mobilisasi kesejahteraan ekonomi serta pendidikan. Sebagian mereka terekpose ke dunia global, simbol modernisasi dan ideologi dunia sepertidemokrasi. Mereka mungkin menjadi motor reformasi dan pluralisme. Akibatnya sebagian dari Islam santri ini tidak pula tergerak memberikan suara mereka ke partai yang berasakan Islam. Mereka cenderung memberikan suaranya kepada partai terbuka, seperti PAN, Golkar, atau PKB.
Ketiga; pengaruh pemikiran para tokoh Islam. Tiga tokoh yang paling berpengaruh saat itu adalah Gusdur, Nurcholis Madjid, dan Amien Rais. Gusdur adalah pemimpin organisasi Islam terbesar NU. Amien Rais Pemimpin Muhammadiyah, sedangkan Nurcholis Madjid kini menjadi suhu dalam komunitas Islam yang pandangannya banyak didengar. Massa Islam yang dipengaruhi oleh mereka tidak memberikan suaranya ke partai yang berasakan Islam. Jika takzim kepada Gusdur suara mereka berikan kepada PKB, jika kagum terhadap Amien Rais mereka berikan suaranya ke PAN, jika mereka terpesona terhadap Nurcholis Madjid, bukan partai Islam pula yang beliau dukung. Nurcholis sejak dulu memberikan “fatwa” bahwa “Islam Yes; Partai Islam, no”. Dan Nurcholis Madjid bukanlah pendukung negara Islam, beliau lebih memilih Islam dengan nilai-nilainya yang kemudian diterapkan di dalam negara.
Keempat; variable terakhir adalah derasnya arus reformasi. Umumnya kaum kelas menengah lebih memilih partai yang terbuka, dengan alasan bahwa kelas menengah kota sudah lama diromantisasi oleh isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan reformasi. Mereka menyadari bahwa isu itu melampaui batas dan sekat agama. Partai terbuka lebih sesuai dengan reformasi yang berlandaskan pluralisme, ketimbang partai Islam. Kemarahan mereka lebih dapat ditampung oleh berbagai tokoh yang sudah terlanjur dilabel reformis, seperti Megawati, Gusdur, dan Amien Rais,  yang pada waktu itu menjadi pemimpin partai terbuka[21].
Sedangkan bagi kelas kebawah, keterimpitan ekonomi dan ketidakpuasan atas kesejahteraan membuat mereka menjadi golongan pemarah yang antisistem. Kemarahan mereka lebih dapat ditampung oleh berbagai tokoh yang sudah terlanjur dilabel reformis.
Islam adalah agama samawi terakhir yang diturunkan untuk melengkapi agama-agama samawi yang sebelumnya, sehingga agama ini banyak diyakini oleh berbagai kalangan sebagai agama yang lengkap, dalam artian bahwasanyya agama islam adalah agama yang mengurusi semua bentuk muamalah, bahkan dalam bernegara Islam juga sudah mengatur akan hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Dalam pandangan pemikir klasik Al-mawardi berpendapat bahawanya kenegaraan adalah adalah berfungsi untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imamah menurutnya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ulama. Pandangannya didasarkan pula pada realitas sejarah khulafaur rasyidun dan khalifah-khalifah sesudahnya, baik dari bani Umayyah maupun bani Abbasiyah, yang merupakan lambang kesatuan politik umat islam. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang menyatakan ma la yatimmul al-wajib illa bihi, fahuwa wajib, (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu hukumnya wajib)[22].
Begitu juga dengan ibnu Khaldun yang mendukung imamah sebagai sistem kenegaraan yang yang kemudian berimplikasi pada penerapan syariat sebagai konstitusi yang berlaku. Bagi Ibnu Khaldun agama merupakan faktor penting dalam yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan dalam masyarakat. Agama harus disatukan dalam solidaritas kelompok, sehingga mampu kontribusi yang nyata bagi kekuasaan politik. Sebaliknya, bila agama dan solidaritas kelompok ini dipertentangkan, maka yang terjadi adalah disintegerasi. Jadi kalu solidaritas kelompok merupakan perintis bagi eksistensi suatu negara, maka agama agama akan menjadi penopang kekuasaan (negara) tersebut[23].
Dalam pandangan para pemikir modern, Al-Maududi dan Shakib yang dikenal di kalangan orang-orang Perancis –sebagai golongan l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists) itu, menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu selalu menggunakan ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu lakum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-Islâma dîna)” (QS al-Maidah [5]:3). Menurut pandangan ini, Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam[24].
Salah satu pemikir muslim yang mendukung tentang penerapan syariat Islam ialah Hasan Al-Banna, Kiprah Hasan Al Banna adalah mendirikan organisasi pergerakan Islam yang bernama Ikhwanul Muslimin pada Bulan Zulqa’dah 1347 H atau tanggal 20 Maret 1928 di kota ismailiyah. Ikhwanul Muslimin bertujuan mengamalkan Islam secara murni dan konsekwen. Pada Muktamar ketiga ditetapkan dasar ideologi Ikhwanul Muslimin yaitu : (1) Islam sebuah sistem yang total, lengkap dan harus dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan muslim (2) Ajaran Islam harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits (3) Ajaran Islam bisa dilaksanakan setiap tempat dan waktu.
Kaitannya dengan diskursus keberlakuan syariat dan negara islam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karena perjuangan politik untuk menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Pemerintah Islam tegak siatas kaidah-kaidah yang sudah popular. Kaidah-kaidah tersebut merupakan kerangka pokok pemerintahan Islam, kaidah-kaidah itu adalah tanggung jawab pemerintahan, kesatuan masyarakat dan sikap saling menghargai aspirasi rakyat[25].
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS al Baqarah [2]:208), yang berarti kalau Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguhsungguh dan tak tanggung-tanggung. Para formalis mengartikan kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin (terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: “Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya [21]:107). Ini jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia[26].
Perkembangan pemikiran politik Islam dan membahas masalah agama dan negara semakin meluas dan sangat alot diperdebatkan, para pemikir-pemikir tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, pertama: kelompok yang mendukung negara islam, salah satu tokohnya adalah Muhammad Rasyid Ridha, kelompok kedua: adalah kelompok yang mendukung sekulerisme yaitu memisahkan agama dan negara salah satu tokohnya adalah Mustafa Kemal Attaturk, Ali Abduuraziq, dan thaha Husein, kelompok ketiga adalah yang menolak kelompok pertama dan kedua, menurut mereka Islam hanya memberikan seperangkat nilai-nilai politik yang harus diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi umatnya. Karena itu , umat  Islam dapat mengadopsi politik barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam tersebut. Salah satu tokohnya ialah Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal
Dalam perjalanannya sampa masuk era modern mengenai negara banyak para cendikiawan meragukan mengenai islam apakah konsep Islam tentang negara? Menurut Abdurrahman Wahid tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal: Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin, Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih(electoral college -ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepalapemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype
pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami[27]”.
            Menurut Nurcholis Madjid mengutip pendapat Ibnu taimiyah, pandangan kaum Sunni tentang Nabi yang tidak menunjuk calon pengganti, adalah bukti nyata bahwa Muhamma adalah seorang rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atupun kekayaan, yang jika bukan untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya. Nabi Muhammad menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik sebagai seorang imam, seperti pengertian fih siyasah yang dikembangkan oleh kaum Syiah, melainkan sebagai utusan Allah semata. Ketaatan kepada Nabi, bukan didasarkan kekuasaan politik melainkan karena kedudukan sebagai pengemban misi suci untuk seluruh umat manusia, sepanjang masa. Itu sebabnya dalam argumen kaum Sunni, Nabi tidak pernah menunjuk seorang pengganti[28].

Dalam perjalanan perpolitikan indonesia yang tidak lepas dari perdebatan mengenai ideologi mengenai apakah negara indonesia akan menggunakan sistem negara Islam yang diperjuangkan oleh para tokoh-tokoh nasionalis Islam, atau menggunakan sistem negara yang diusung oleh tokoh nasionalis lainnya. Perjalanan yang panjang dan sangat dilematis, mengingat bangsa indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam dan merupakan bangsa yang terdiri dari banyaknya komunitas-komunitas yang berbeda-beda, semua jenis keberagaman yang ada di Indonesia semuanya memiliki kepercayaan dan kebudayaan yang sudah mengakar sangat dalam di bumi Indonesia ini, maka tidak heran jika kemudian perdebatan-perdebatan yang merupakan representasi dari buah pikiran yang sudah mengakar pada perjalan panjang Indonesia.
Maka dari kesimpulan yang penulis simpulkan dengan mengutip seperti yang digambarkan Bolland yang ditulis dalam buku Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, karangan Yayan Sopyan, Indonesia merupakan merupakan konsep jalan tengah, dimana agama merupakan elemen dari nation building dan character building. Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler yang memandang agama hanya sebatas masalah pribadi.
Pancasila merupakan sebuah falsafah yang memberikan solusi bagi keduanya, falsafah yang berada di semua golongan, dapat diterima di berbagai kelompok agama dan kelompok paham ideologi. Sila pertama adalah sebuah bentuk toleransi yang sangat besar untuk terciptanya sebuah kerukunan, karena ketuhanan merupakan hal yang paling mendasar dan sangat sensitif jika sedikit saja diusik. Maka dengan Ketuhanan yang Maha Esa masing-masing agama dan kepercayaan memiliki lingkupnya yang universal, berlaku untuk seluruh umat manusia sehingga terasa sulit untuk dibatasi hanya pada sisi ke Indonesiaan saja. Ketuhanan yang maha esa juga bertujuan untuk mengikat unsur-unsur dalam kehidupan berbangsa, sehingga tidak terjadi sesuatu yang dapat memecah kesatuan bangsa sendiri.
Mengutip pendapat Nurcholis Madjid, politik Islam bukanlah dalam Islam bukanlah bagian syariah (dalam arti sempit), tetapi berdampingan dengannya. Wacana politik Islam pada dasarnya lebih mendekati failasuf dengan dinamika dan wataknya sendiri, yang letak konsep Islam mengenai politik itu kebenarannya kira-kira ada di antara pendulum ekstrem sekulerisme a la ’Ali Abdul raziq dan teokrasinya Sayyid Qutb dan Maududi[29].
Dalam pandangan inilah Islam membenarkan belajar dan mencontoh siapa saja termasuk dari mereka yang bukan muslim, asalkan nuktah-nktah pentingnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar keIslaman. Misalnya, masalah demokrasi yang dewasa ini meskipun diakui banyak kekurangannya, adalah suatu warisan kemanusiaan yang tiada ternilai harganya yang sampai sekarang pun belum ditemukan alternatif yang lebih baik dalam hal cara penataan kehidupan berpolitik.
















Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta: Era Inter Media, 1999)
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthoniyah, (Beirut: Dar al Fikr,t.tp.)
Basyaib, Hamid dan Hamid Abidin, ed. Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden. (Jakarta: Alvabet, 1999)
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. (jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama)
Efendy, Bahtiar dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk, ed. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt)
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam Dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontempore., (Jakarta: Kencana, 2010)
Rachman, Budhy Munawwar, dalam Raja Suaedy dan raja Juli Anthony, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan gerakan Islam Asia Tenggara, (SEAMUS, t.tp.)
Maarif, Ahmad Syafiie, Islam dan Masalah Kenegaraan Percaturan Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1986)
Ma’arif, Ahmad Syafi’ie, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S,1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama kemanusiaan, membangun Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 2010)
Madjid, Nurcholis, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2009)
Muhtadi, Burhanuddin, Perang Bintang 2014 Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres. (Jakarta: Noura Books, 2013)
Sopyan, Yayan. Islam-Negara, Transformasi Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2011)
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat NegaraDemokrasi. (Jakarta: The Wahid Institute, 2006)



[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 254

[2] Bahtiar Efendy dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk, ed, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt) Hal. 431-432
[3] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 254-255
[4] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 259
[5] Ahmad Syafiie Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Percaturan Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1986) Hal. 102
[6] Nurcholis Madjid, Islam Agama kemanusiaan, membangun Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 2010) Hal. 4
[7] Nurcholis Madjid...Hal. 4-5
[8] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 260

[9] Bahtiar Efendy dan Ali Munhanif, Dalam Azyumardi Azra Dkk, ed, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Tt) Hal. 433
[10] Yayan Sopyan, Islam-Negara, Transformasi Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2011). Hal. 42

[12] Bahtiar Efendy dan Ali Munhanif...Hal. 436
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama), Hal. 128
[14] Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S,1987), hal.108-109.
[15] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 265
[16] Yayan Sopyan...48-55
[17] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,),hal.76-88
[18] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution...Hal. 298-300
[19] Musyrifah Sunanto...Hal. 89-91
[20] Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014 Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres. (Jakarta: Noura Books, 2013). Hal. 76
[21] Denny J. A. Dalam Hamid Basyaib dan hamid Abidin, ed. Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden. (Jakarta: Alvabet, 1999). Hal. 199
[22] Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthoniyah, (Beirut: Dar al Fikr,t.tp.) Hal, 5
[23] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal, 50
[24] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat NegaraDemokrasi. (Jakarta: The Wahid Institute, 2006) Hal 74
[25] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta: Era Inter Media, 1999) Hal. 298
[26] Abdurrahman Wahid...Hal 72
[27] Abdurrahman Wahid...Hal 82-83
[28] Budhy Munawwar Rachman, dalam Raja Suaedy dan raja Juli Anthony, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan gerakan Islam Asia Tenggara, (SEAMUS) Hal. 136
[29] Nurcholis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2009). Hal. 60