Implementasi
Syariat Islam dan Hukum Positif
Perdebatan soal pemberlakuan
Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di
negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati
dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum
publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh
kebangkitan Islam (al-sahwah
al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang
dunia ke II. Pada umumnya
kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis
multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir
praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini
diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis
multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik
diamini sebagai solusi komplet
nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam
masyarakat.
Sedikitnya ada tiga arus besar yang
mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama,
arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan
landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getolmenyuarakan
perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam
secara formal dalam Undang undang negara. Kedua,
arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat
secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara,
karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan,
sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil
jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi
bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang
subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.
Pendukung
Penerapan Hukum Islam
Salah
satu pemikir muslim yang mendukung tentang penerapan syariat Islam ialah Hasan
Al-Banna, Kiprah Hasan Al Banna adalah mendirikan organisasi pergerakan Islam
yang bernama Ikhwanul Muslimin pada Bulan Zulqa’dah 1347 H atau tanggal 20
Maret 1928 di kota ismailiyah. Ikhwanul Muslimin bertujuan mengamalkan Islam
secara murni dan konsekwen. Pada Muktamar ketiga ditetapkan dasar ideologi
Ikhwanul Muslimin yaitu : (1) Islam sebuah sistem yang total, lengkap dan harus
dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan muslim (2) Ajaran Islam harus
didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits (3) Ajaran Islam bisa dilaksanakan setiap
tempat dan waktu.
Kaitannya dengan diskursus
keberlakuan syariat dan negara islam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa antara
negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karena perjuangan politik untuk
menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan. Pemerintah Islam tegak siatas kaidah-kaidah yang sudah popular.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan kerangka pokok pemerintahan Islam,
kaidah-kaidah itu adalah tanggung jawab pemerintahan, kesatuan masyarakat dan
sikap saling menghargai aspirasi rakyat[1].
Kemudian Al-Banna menguraikan bahwa
pemerintahan Islam adalah suatu pemerintahan yang mengacu bahkan harus siap
untuk menjadikan syariat Islam datau Hukum Islam sebagai konstitusi Negara dan
penerapannya secara ketat. Karena Islam menurut hasan Al-banna merupakan hukum
sekaligus penerapannya atau aktualisasinya. Oleh karena itu sebuah pemerintahan
yang tidak melaksanakan syariat Islam adalah dosa besar dan pemerintahan itu
boleh diambil alih untuk melaksanakan syariat Islam[2].
Adapun menurut al-Maududi ia
mendefinisikan negara Islam sebagai negara yang kuasa mutlaknya berada pada
Allah SWT, yang menetukan syariahnya dan syariah itu dibawa nabi Muhammad SAW.
Negara tersebut theodemocracy yang paralel juga didalamnya kekuasaan mutlak
Allah dan menyerahkan otoritas terbatas kepada manusia dalam pelaksaanurusan
negara yang diakui oleh Syara’.
Pendapat
ini mengemukakan bahwa sekularisasi (pemisahan antara agama dengan negara)
serta Islamisasi di Indonesia merupakan suatu bentuk penghilangan doktrin kebangsaan
dan ideologisasi yang tidak relevan dengan identitas bangsa Indonesia. Mereka
beranggapan bahwa Indonesia sudah memiliki identitas sendiri dan yang dapat
diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau sekularisasi yang
diterapkan, maka yang terjadi adalah westernisasi. Padahal dapat dilihat budaya
Barat sering berbenturan dengan budaya bangsa Indonesia. Apabila Islamisasi
yang dijalankan maka yang terjadi adalah Arabisasi.Indonesia juga akan
mengalami pergeseran budaya luar. Mereka mengemukakan wacana pribumi, yang pada
intinya nilai-nilai budaya pribumi untuk diterapkan untuk menjiwai kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Selain
itu ada pula mereka yang mengatakan bahwa kata-kata syariah didalam Al-Quran
tidak ada yang menunjukkan arti sebagaimana yang diserukan para penyeru kepada
pelaksnaan syariat. Kata syariah ahanya terdapat dalam Al-Quran surat makiyah,
sedangkan yang dimaksud ialah manhaj ilahi yang terwujud dalam aqaid, akhlak,
dan pokok-pokok keutamaan. Hal ini tercantum dalam firman Allah sebagai
berikut:
ثم
جعلناك على شرىعة من الأمرفاالتبعهاولا تتبع أهواءالذىن لا يعلمون
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui
(Al-Jatsiah: 18)
Berkaitan
dengan wajibnya menjadikan syariat atau hukum Islam sebagai pedoman hidup
menurut Yusuf Al-Qardhawi hukum Islam diturunkan Allh untuk diikuti dan
dilaksanakan, untuk mengatur hubungan manusia dan menjadi pedoman hidup mereka
sesuai dengan perintah dan larangannya, sesuai dengan hukum dan syariatnya[3].
Selanjutnya
menurut Al-Qardhawi bahwa orang yang tidak mau memutuskan perkara menurut apa
yanng diturunkan Allah sebagai orang kafir, zalim, dan fasik, sesuai dengan
ayat 44 ayat Al-Maidah yang berbunyi:
Penolak
terhadap penerapan hukum islam
Sikap
ini dianut oleh sebagian umat Islam sendiri yang biasa disebut kaum sekularis,
dan leberalis (SEPILIS). Meraka menyatakan bahwa negara tidak berhak mencampuri
urusan rohaniah warga negaranya,karena itu merupakan wilayah kewenangan Tuhan.
Bahkan dengan alasan yang sangat argumentatif, kewenangan Tuhan. Bahkan dengan
alasan yang sangat argumentatif,disebutkan bahwa selain Allah dan Rasulnya,
kekuasaan rohani sekarang atas orang lain adalah syirik[4].
Bagi kalangan yang berpijak pada
arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi
tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan “agama
syariat” tidak bisa dihindarkan. Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan
perlawanan yang serius. Maraknya klaim
untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif
(sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah
kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa
kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh
aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang
melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala
gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras,
tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan
antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara
internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi
penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik
perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari
pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap
kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.
An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat
diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas
kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama
yang bersifat normatif[5].
Dalam hubungannya agama dengan negara yang
kemudia hubungannya dengan syariat islam dalam sebuah negara menurut Gusdur
Agama dan negara merupakan suatu entitas yang terpisah. Kehadiran negara
merupakan suatu hukum, kebutuhan, tetapi manifestasinya bisa mengambil entuk
bermacam-macam, dan tidak mesti formal Islam. Dalam pandangan beliau islam
sendiri tidak memiliki konsepsi negara dan sistem pemerintahan yang definitif[6].
Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson,
dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah –istilah yang
tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat
dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses
gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan
penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam. Ini berarti hukum Islam yang
kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif
dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan
jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam
betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk
mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik
atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan
dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang
diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang
bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat
dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena,
penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh
pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung
oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang
berbahaya.
Demikian juga Muhammad ‘Abid
Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut
penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa
tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek
kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan
ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara,
kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat
ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam
berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.
Syariat
harusnya dikembalikan pada posisi awalnya sebagai jalan (wasilah sarana)
bersifat dzanni (relatif) bukan sebagai tujuan (ghayah) yang qath’i/pasti.
Sebagai jalan,syariat tidak bisa tunggal. Ibnu ‘Aqil yang dikutip Thabari
pernah mengatakan: اﻟﺪ ﯾﻦ اﻟﻮا ﺣﺪ واﻟﺸﺮ ﯾﻌﮫ ﻣﺨﺘﻠﻔﮫ
: (agama itu tunggal sedangkan syariat sangat beragam). Maka sebagai sarana
untuk mengantarkan umat Islam kepada tujuan keadilan, kesetaraan, kemaslahatan,
penegakan hak azasi manusia (termasuk hak asasi perempuan), maka syariat Islam
akan mengambil pola dan coraknya yang beragam.
Keragamannya
itu membuat syariat tidak bisa ditinggalkan untuk kemudian diformulasikan dalam
bentuk perundang-undangan. Jalan penunggalan dan formulasi syariat bukan hanya
akan bertentangan dengan watak dasar syariat yang kenyal dan relatif ,
melainkan juga akan membunuh kehadiran syariat-syariat lain yang divergen pada
format dan mekanismenya. Konon Imam Malik pernah menolak permintaan seorang
Khalifah untukmenjadikan karya monumental al-Muwatha’, sebagai undang-undang
yang mengikat seluruh warga. Kiranya beliau menyadari sepenuhnya hati bahwa,
formalisasi al-Muwatha’ hanya akan memberangus karya-karya yang lain yang tidak
sejalan[7].
Seharusnya
agama dan politik dipisahkan untuk menjaga kesucian agama. Syariat Islam harus
ditafsirkan secara substansial dan menjadi urusan masyarakat sendiri. Artinya
jangan memaksakan pilihan sebuah kelompok pada semua orang. Kalau ada orang
memakai cadar berjilbab boleh-boleh saja. Tidak ada bedanya orang yang memakai
cadar sebagai pilihan dan yang memakai celana jeans sebagai pilihan.
Taufik
Adnan Amal menginformasikan kegagalan negara Pakistan mendefinisikan syariat
Islam. Kaum modernis menyatakan bahwa agar bisa diterapkan, hukum Islam mesti
dimodernisasi selaras dengan perkembangan zaman dan kebutuhan zaman. Sementara
kaum tradisionalis menuntut bahwa fikih yang dihasilkan para mujtahid lewat
deduksi dan derevasi dari Alquran dan sunnah Nabi SAW, harus diberlakukan tanpa
kecuali. Kontroversi sengit tentang riba dan bunga bank,pendayagunaan zakat,
program KB, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan beta
sulitnya kaum muslim Pakistan mendefinisikan syariat
Islam untuk
konteks negeri mereka[8].
Disebutkan
pula ada umat Islam yang berpandangan bahwa formalisasi syariat Islam tidak
perlu dilakukan, dan mereka beranggapan bahwa hal tersebut malah akan
memperkeruh kondisi yang ada. Argumentasinya, karena upaya penerapan syariat
Islam ditengarai akan mengganggu integritas bangsa . Yaitu antara lain makin
termarjinalkannya kaum minoritas dan perempuan, terlalu jauhnya intervensi
negara dalam kehidupan pribadi, pengekangan terhadap hak asasi manusia (HAM),
dan dampak lainnya.
Hal
ini diperkuat dengan adanya fakta-fakta di beberapa negeri muslim yang
memformalkan syariat Islam, justru berdampak kepada keterpurukan dan
keterbelakangan di dalam negeri maupun luar negerinya.
[1] Hasan
Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta: Era Inter
Media, 1999) Hal. 298
[2] Hasan
Al-banna...hal. 248
[3] Yusuf
Al-Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid II, (Jakarta: Gema Insani,
2009) Hal. 1012
[4] Lihat
Zainal Fikri,Negara mencampuri hubungan pribadi dengan Tuhan ( Perspiktif
Filsafat Hukum) dalam syariah, Jurnal Hukum dan Pemikiran, No 1 tanggal 5
Januari- Juni 2005, hal 20-30.
[5] Abdullah
Ahmad An-naim, Dekonstruksi Syariat Islam,(Yogyakarta, LKIS, 2004) Hal.
58
[6] Ahmad
Suaedy, Pembaharuan Abdurrahman Wahid, Dalam Ahmad Suaedy dan Raja Juli
Antony, ed, Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggar, (Jakarta,
SEAMUS 2009) Hal 15
[7] Abdul
Muqsith Ghazali, Kekenyalan Syariat, Islamlib com, 16 Agustus 2004.
[8] Taufik
Adnan Amal, Pelajaran Berharga dari Pakistan, Islamlib com, 16 September 2001.
0 komentar:
Posting Komentar