Kamis, 27 Februari 2014

Implementasi Syariat Islam dan Hukum Positif
Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II. Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai solusi komplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.
Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getolmenyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.

Pendukung Penerapan Hukum Islam
Salah satu pemikir muslim yang mendukung tentang penerapan syariat Islam ialah Hasan Al-Banna, Kiprah Hasan Al Banna adalah mendirikan organisasi pergerakan Islam yang bernama Ikhwanul Muslimin pada Bulan Zulqa’dah 1347 H atau tanggal 20 Maret 1928 di kota ismailiyah. Ikhwanul Muslimin bertujuan mengamalkan Islam secara murni dan konsekwen. Pada Muktamar ketiga ditetapkan dasar ideologi Ikhwanul Muslimin yaitu : (1) Islam sebuah sistem yang total, lengkap dan harus dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan muslim (2) Ajaran Islam harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits (3) Ajaran Islam bisa dilaksanakan setiap tempat dan waktu.
Kaitannya dengan diskursus keberlakuan syariat dan negara islam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karena perjuangan politik untuk menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Pemerintah Islam tegak siatas kaidah-kaidah yang sudah popular. Kaidah-kaidah tersebut merupakan kerangka pokok pemerintahan Islam, kaidah-kaidah itu adalah tanggung jawab pemerintahan, kesatuan masyarakat dan sikap saling menghargai aspirasi rakyat[1].
Kemudian Al-Banna menguraikan bahwa pemerintahan Islam adalah suatu pemerintahan yang mengacu bahkan harus siap untuk menjadikan syariat Islam datau Hukum Islam sebagai konstitusi Negara dan penerapannya secara ketat. Karena Islam menurut hasan Al-banna merupakan hukum sekaligus penerapannya atau aktualisasinya. Oleh karena itu sebuah pemerintahan yang tidak melaksanakan syariat Islam adalah dosa besar dan pemerintahan itu boleh diambil alih untuk melaksanakan syariat Islam[2].
Adapun menurut al-Maududi ia mendefinisikan negara Islam sebagai negara yang kuasa mutlaknya berada pada Allah SWT, yang menetukan syariahnya dan syariah itu dibawa nabi Muhammad SAW. Negara tersebut theodemocracy yang paralel juga didalamnya kekuasaan mutlak Allah dan menyerahkan otoritas terbatas kepada manusia dalam pelaksaanurusan negara yang diakui oleh Syara’.
Pendapat ini mengemukakan bahwa sekularisasi (pemisahan antara agama dengan negara) serta Islamisasi di Indonesia merupakan suatu bentuk penghilangan doktrin kebangsaan dan ideologisasi yang tidak relevan dengan identitas bangsa Indonesia. Mereka beranggapan bahwa Indonesia sudah memiliki identitas sendiri dan yang dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau sekularisasi yang diterapkan, maka yang terjadi adalah westernisasi. Padahal dapat dilihat budaya Barat sering berbenturan dengan budaya bangsa Indonesia. Apabila Islamisasi yang dijalankan maka yang terjadi adalah Arabisasi.Indonesia juga akan mengalami pergeseran budaya luar. Mereka mengemukakan wacana pribumi, yang pada intinya nilai-nilai budaya pribumi untuk diterapkan untuk menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu ada pula mereka yang mengatakan bahwa kata-kata syariah didalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan arti sebagaimana yang diserukan para penyeru kepada pelaksnaan syariat. Kata syariah ahanya terdapat dalam Al-Quran surat makiyah, sedangkan yang dimaksud ialah manhaj ilahi yang terwujud dalam aqaid, akhlak, dan pokok-pokok keutamaan. Hal ini tercantum dalam firman Allah sebagai berikut:

ثم جعلناك على شرىعة من الأمرفاالتبعهاولا تتبع أهواءالذىن لا يعلمون
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Al-Jatsiah: 18)
Berkaitan dengan wajibnya menjadikan syariat atau hukum Islam sebagai pedoman hidup menurut Yusuf Al-Qardhawi hukum Islam diturunkan Allh untuk diikuti dan dilaksanakan, untuk mengatur hubungan manusia dan menjadi pedoman hidup mereka sesuai dengan perintah dan larangannya, sesuai dengan hukum dan syariatnya[3].
Selanjutnya menurut Al-Qardhawi bahwa orang yang tidak mau memutuskan perkara menurut apa yanng diturunkan Allah sebagai orang kafir, zalim, dan fasik, sesuai dengan ayat 44 ayat Al-Maidah yang berbunyi:

Penolak terhadap penerapan hukum islam
Sikap ini dianut oleh sebagian umat Islam sendiri yang biasa disebut kaum sekularis, dan leberalis (SEPILIS). Meraka menyatakan bahwa negara tidak berhak mencampuri urusan rohaniah warga negaranya,karena itu merupakan wilayah kewenangan Tuhan. Bahkan dengan alasan yang sangat argumentatif, kewenangan Tuhan. Bahkan dengan alasan yang sangat argumentatif,disebutkan bahwa selain Allah dan Rasulnya, kekuasaan rohani sekarang atas orang lain adalah syirik[4].
Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan “agama syariat” tidak bisa dihindarkan. Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius.  Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.
An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif[5].
Dalam hubungannya agama dengan negara yang kemudia hubungannya dengan syariat islam dalam sebuah negara menurut Gusdur Agama dan negara merupakan suatu entitas yang terpisah. Kehadiran negara merupakan suatu hukum, kebutuhan, tetapi manifestasinya bisa mengambil entuk bermacam-macam, dan tidak mesti formal Islam. Dalam pandangan beliau islam sendiri tidak memiliki konsepsi negara dan sistem pemerintahan yang definitif[6].
Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah –istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.
Demikian juga Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.
Syariat harusnya dikembalikan pada posisi awalnya sebagai jalan (wasilah sarana) bersifat dzanni (relatif) bukan sebagai tujuan (ghayah) yang qath’i/pasti. Sebagai jalan,syariat tidak bisa tunggal. Ibnu ‘Aqil yang dikutip Thabari pernah mengatakan: اﻟﺪ ﯾﻦ اﻟﻮا ﺣﺪ واﻟﺸﺮ ﯾﻌﮫ ﻣﺨﺘﻠﻔﮫ : (agama itu tunggal sedangkan syariat sangat beragam). Maka sebagai sarana untuk mengantarkan umat Islam kepada tujuan keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, penegakan hak azasi manusia (termasuk hak asasi perempuan), maka syariat Islam akan mengambil pola dan coraknya yang beragam.
Keragamannya itu membuat syariat tidak bisa ditinggalkan untuk kemudian diformulasikan dalam bentuk perundang-undangan. Jalan penunggalan dan formulasi syariat bukan hanya akan bertentangan dengan watak dasar syariat yang kenyal dan relatif , melainkan juga akan membunuh kehadiran syariat-syariat lain yang divergen pada format dan mekanismenya. Konon Imam Malik pernah menolak permintaan seorang Khalifah untukmenjadikan karya monumental al-Muwatha’, sebagai undang-undang yang mengikat seluruh warga. Kiranya beliau menyadari sepenuhnya hati bahwa, formalisasi al-Muwatha’ hanya akan memberangus karya-karya yang lain yang tidak sejalan[7].
Seharusnya agama dan politik dipisahkan untuk menjaga kesucian agama. Syariat Islam harus ditafsirkan secara substansial dan menjadi urusan masyarakat sendiri. Artinya jangan memaksakan pilihan sebuah kelompok pada semua orang. Kalau ada orang memakai cadar berjilbab boleh-boleh saja. Tidak ada bedanya orang yang memakai cadar sebagai pilihan dan yang memakai celana jeans sebagai pilihan.
Taufik Adnan Amal menginformasikan kegagalan negara Pakistan mendefinisikan syariat Islam. Kaum modernis menyatakan bahwa agar bisa diterapkan, hukum Islam mesti dimodernisasi selaras dengan perkembangan zaman dan kebutuhan zaman. Sementara kaum tradisionalis menuntut bahwa fikih yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan derevasi dari Alquran dan sunnah Nabi SAW, harus diberlakukan tanpa kecuali. Kontroversi sengit tentang riba dan bunga bank,pendayagunaan zakat, program KB, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan beta sulitnya kaum muslim Pakistan mendefinisikan syariat
Islam untuk konteks negeri mereka[8].
Disebutkan pula ada umat Islam yang berpandangan bahwa formalisasi syariat Islam tidak perlu dilakukan, dan mereka beranggapan bahwa hal tersebut malah akan memperkeruh kondisi yang ada. Argumentasinya, karena upaya penerapan syariat Islam ditengarai akan mengganggu integritas bangsa . Yaitu antara lain makin termarjinalkannya kaum minoritas dan perempuan, terlalu jauhnya intervensi negara dalam kehidupan pribadi, pengekangan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan dampak lainnya.
Hal ini diperkuat dengan adanya fakta-fakta di beberapa negeri muslim yang memformalkan syariat Islam, justru berdampak kepada keterpurukan dan keterbelakangan di dalam negeri maupun luar negerinya.




[1] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Suarakarta: Era Inter Media, 1999) Hal. 298
[2] Hasan Al-banna...hal. 248
[3] Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid II, (Jakarta: Gema Insani, 2009) Hal. 1012
[4] Lihat Zainal Fikri,Negara mencampuri hubungan pribadi dengan Tuhan ( Perspiktif Filsafat Hukum) dalam syariah, Jurnal Hukum dan Pemikiran, No 1 tanggal 5 Januari- Juni 2005, hal 20-30.
[5] Abdullah Ahmad An-naim, Dekonstruksi Syariat Islam,(Yogyakarta, LKIS, 2004) Hal. 58
[6] Ahmad Suaedy, Pembaharuan Abdurrahman Wahid, Dalam Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antony, ed, Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggar, (Jakarta, SEAMUS 2009) Hal 15
[7] Abdul Muqsith Ghazali, Kekenyalan Syariat, Islamlib com, 16 Agustus 2004.
[8] Taufik Adnan Amal, Pelajaran Berharga dari Pakistan, Islamlib com, 16 September 2001.

0 komentar:

Posting Komentar