Sayyid Abul A'la Maududi (25 September 1903 - 22 September 1979) juga dikenal sebagai Mawlana (Maulana)
atau Syeikh Sayyid
Abul A'la Mawdudi, adalah jurnalis, teolog, dan filsuf politikPakistan Sunni, dan mayor pemikir Islam Ortodoks abad
ke-20. Dia juga merupakan figur politik di negaranya (Pakistan), dimana
didirikan partai Islam Jamaat Al-Islami
Runtuhnya khilafah pada 1924
mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis
terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir,
dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium
‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih
mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan
agamanya. Namun, saat itu fokus tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada
kebangkitan Islam.
Sayyid Abul A’la Maududi adalah
figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam
keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India
Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga
ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris,
memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat
menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan
zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam
kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik.
Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya
bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada
usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi
masuk sekolah di Aurangabad. Di sini ia mendapatkan pelajaran modern. Namun,
lima tahun kemudian ia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya
sakit keras dan kemudian wafat. Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang
menaruh minat pada soal-soal agama, ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi
tidak pernah mengakui dirinya sebagai ‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya
menyebut dirinya sebagai jurnalis yang belajar agama sendiri. Semangat
nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam beberapa esainya, ia memuji pimpinan
Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya.
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk
bekerja di minggua partai pro Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi
sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim
untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke Delhi
dan berkenalan dengan pemimpin penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali.
Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu
tidak lama. Selama itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia
bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong kaum muslim
India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam
(negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan
pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (masyarakat ulama India). Ulama jami’at yang
terkesan dengan bakat maududi kemudian menarik Maududi sebagai editor surat
kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924 Maududi bekerja sebagai editor muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan
jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga
mengarah pada kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi memiliki peluang
untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa
Inggris dan membaca karya-karya Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam
pendidikan formal agama. Dia memulai dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan
agama yang populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas.
Pada 1926, ia menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924
mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis
terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir,
dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium
‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme
India. Dia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan
Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada
nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang
imperialisme, Maududi menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya
aksi yang ia anjurkan akan melindungi kepentingan muslimin. Hal ini memberi
tempat bagi wacana kebangkitan.
Pada 1925, seorang Muslim membunuh
Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum
muslimin karena dengan erang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin.
Kematiannya Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama
kekerasan. Maududi pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal mengenai
perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, Al Jihad fi Al Islam. Buku
ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai
tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum
muslimin. Hal ini semakin menegaskan Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan muslim
pada saat itu kelihatan semakin tidak pasti. Maududi pun berupaya mencari
faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama
berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya
kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan
pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini
mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk
melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia wujudkan dengan
mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama
sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami
pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap
politik, ideologi, dan rencana aksi.
Sejak itulah Maududi
mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama.
Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India
pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih
Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak
itu karier politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan
Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan membawa pandangan
baru yang religius.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abul_A%27la_Maududi
0 komentar:
Posting Komentar