Rabu, 26 Februari 2014

Ahlul Halli Wal Aqdi-Tak hanya pada masa kini, lembaga perwakilan juga sudah dikenal pada masa-masa awal sejarah Islam. Hal itu setidaknya tergambar dari keberadaan sebuah lembaga yang disebut Ahlul Halli wal Aqdi.

Lembaga ini diartikan sebagai orang-orang yang berwenang mengambil suatu kebijakan dalam suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah. “Dalam pengertian bahasa, berarti orang yang melepas dan mengikat,’’ demikian diungkapkan dalam Ensiklopedi Islam, terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Sedangkan, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam Fikih Politik—mengutip Imam Hasan Al-Banna—menyebutkan, terminologi Ahlul Halli wal Aqdi sering digunakan dalam buku-buku fikih politik dan fikih umum. Ia dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang bertindak sebagai penasihat dan konsultan dalam beragam urusan menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Nasihat-nasihat itu diputuskan secara mufakat ataupun didasarkan pada pandangan mayoritas. Para Ahlul Halli wal Aqdi tidak dikenal karena nama, tapi karena kriteria-kriteria mereka.

Setelah mendalami banyak referensi fikih, Imam Hasan Al-Banna berpendapat bahwa secara lahiriah, implikasi dari istilah Ahlul Halli wal Aqdi tertuju pada tiga pihak. Pertama, istilah itu merujuk pada para pakar fikih yang berijtihad, yakni mereka yang pendapatnya dijadikan sandaran dalam berbagai masalah perfatwaan dan penetapan hukum fikih.

Kedua, para tenaga ahli dan spesialis dalam urusan-urusan publik. Dan ketiga, orang-orang yang memiliki semacam kepemimpinan di tengah umat, misalnya, para ketua RT dan RW, tokoh masyarakat, atau pimpinan LSM dan organisasi.

Hasan Al-Banna menganggap orang-orang tersebut bisa dipilih melalui sistem pemilu yang matang dengan kriteria-kriteria yang sangat ketat. Bagi yang memenuhi syarat berhak untuk dicalonkan, sementara yang tidak memenuhi syarat tidak berhak dicalonkan dan dipilih. Menurut Ahmad Zain An-Najah dalam laman www.ahmadzain.com, Ahlul Halli wal Aqdi merupakan istilah baru karena tidak terdapat dalam Alquran dan sunah.
Para ulamalah yang mengangkat istilah ini. Meski demikian, menurutnya, hal itu tidak berarti istilah tersebut bid’ah meski belum pernah digunakan pada zaman Rasulullah SAW maupun sahabatnya.

Ia dapat digolongkan dalam mashalihul mursalah (kemaslahatan umum) yang diizinkan syariat Islam, sebagaimana istilah ushul fikih, ilmu nahwu, ataupun musthalahul hadits.

Istilah Ahlul Halli wal Aqdi ini banyak kita temui pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti Ahkam Sulthaniyah karya Imam Al-Mawardi dan Abu Ya’la al-Farra’. Ahkam Sulthaniyah berarti hukum tata negara, yakni tatanan yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan politik, ekonomi serta sosial, dan semua aspek hubungan antara kepentingan warga negara (rakyat) dan kepentingan kenegaraan.

Secara bahasa, istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri atas tiga kata utama, yakni ahlu, halli, dan aqdi. Kata pertama berarti orang yang berhak atau memiliki. Kata kedua, halli berarti pelepasan, penyesuaian, pemecahan, sedangkan aqdi berarti pengikatan atau pembentukan.

Dari pengertian secara bahasa tersebut, An-Najah menyimpulkan pengertian Ahlul Halli wal Aqdi secara istilah sebagai orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem dalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.

Sedangkan, Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid III mengartikan Ahlul Halli wal Aqdi sebagai para penyelesai masalah dan kesepakatan. Jimly Ashshiddiqie dalam sebuah makalah berjudul Islam dan Tradisi Negara Konstitusional (2010) menyebutkan, praktik Ahlul Halli wal Aqdi telah dicontohkan para sahabat Nabi dalam pemilihan Umar bin Khathab sebagai khalifah sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Para sahabat yang duduk dalam keanggotaan lembaga ini, menurut Jimly, tak ubahnya lembaga perwakilan seperti yang dikenal dewasa ini. Pemilihan pemimpin yang dilakukan lembaga ini menunjukkan sistem pemilihan tidak langsung yang dipraktikkan pada awal masa pertumbuhan Islam

republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar