Kamis, 27 Februari 2014


Pemerintahan adalah sebuah wadah bagi masyarakat Indonesia dalam mewujudkan keinginan-keinginan dalam mencapai sebuah kebaikan bagi seluruh masyarakat atau kebaikan bersama, baik pemerintah pusat seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif atau pemerintah daerah seperti legislative daerah dan eksekutif di daerah-daerah yang menjadi bagian dari Negara, pemerintah daerah merupakan penyambung aspirasi masyarakat kepada pemerintah pusat dalam menyampaikan hal-hal kebaikan masyarakat daerah yang biasanya diajukan dalam bentuk rancangan undang-undang.
Namun yang paling banyak perannya dalam menampung aspirasi rakyat dalam badan-badan pemerintahan adalah badan legislative baik di pusat yang biasanya disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau di daerah yang disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dalam system legislatif banyak kita kenal dengan system satu kamar dan dua kamar, system satu kamar adalah sistem pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu kamar seringkali adalah negara kesatuan yang kecil dan homogen dan menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu.
Dukungan terhadap sistem satu kamar ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya demokratis, hal itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga demokratis, dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja. Teori yang mendukung pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi-komisi parlementer, sementara upaya menjaga konstitusi selanjutnya dapat dilakukan melalui Konstitusi yang tertulis.
Dan system dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedua system tersebut unicameral (satu kamar) dan bicameral (dua kamar) terbentuk dengan waktu proses ketata negaraan yang cukup panjang, menurut Bagir Manan, tidak terkait dengan landasan Negara, bentuk Negara, bentuk pemerintahan tertentu.
Sebelum di-amandemennya UUD 1945 Indonesia menganut system satu kamar, yang menjadikan MPR sebagai supremasi pemegang penuh kekuasaan rakyat. Dalam hal ini berakibat ketimpangan dalam praktik lembaga Negara lainnya, MPR menjadi superioritas yang berakibat kepada eksistensi tiga kekuasaan lembaga (legislatif, eksekutif, yudikatif) menjadi semu.
Di Indonesia dalam prakteknya menggunakan system yang agak mendekati sitem dua kamar, setelah berhasil mengamandemen UUD 1945 dalam sidang umum MPR, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Hilangnya predikat MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, diikuti langkah besar lainnya yaitu dengan mengamandemen ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah ((DPD) yang kesemuanya dipilih melalui pemilu. Dalam hal ini jelasi adanya Majlis Perwakilan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, DPR untuk mewadahi keterwakilan rakyat secara terpusat, DPD mewadahi keterwakilan rakyat di daerah.
Usaha-usaha tersebut dilakukan agar sepenuhnya Indonesia dapat melakukan demokrasi sepenuhnya, amandemen UUD berimplikasi untuk diselenggarakannya pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Dalam dunia internasional setelah amandemen PM Australia John Howard mengakui, bahwa sekarang Indonesia adalah Negara demokrasi, oleh karena itu selayaknya menjadi anggota Security Council lapisan kedua, disamping, India, Jepang, Jerman, dan Brasil.
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan
Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya dior­ganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Namun peran DPD tersebut hanya terbatas dalam memberhentikan presiden, namun jika kita perhatikan dalam praktek bidang lainnya, DPD hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya sebatas mengajukan, ikut membahas, dan melakukan pengawasan, padahal kedudukan DPD adalah lembaga Negara[1].
Dalam memberikan keputusan DPD sama sekali tidak mempunyai wewenang tersebut, semuanya harus diajukan kepada DPR untuk disetujui, hal ini tentu akan berakibat pada keterlambatan pengembangan daerah, karena hal yang demikian akan memakan waktu yang cukup lama. DPD hanya membawa dalam bentuk dokumen saja dalam membawa aspirasi daerah, itupun hanya berbentuk sebuah pertimbangan. Dalam wewenang DPD saja misalnya, DPD mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah[2].
Padahal DPD ini dipilih dalam pemilu legislative sama halnya dengan DPR, seharusnya DPD mempunyai wewenang yang imbang dengan DPR, DPD mempunyai pengaruh yang sedemikian besar terhadap kemajuan daerah yang menjadi tanggung jawabnya, kalau semuanya harus diputuskan di Jakarta, tentu akan terjadi keterlambatan dalam mengatasi aspirasi dan kekurangan-kekurangan daerah yang hal tersebut diketahui setelah diadakannya reses oleh anggota DPD.
Dalam hal keterwakilan daerah DPD membawa ratusan ribu orang, tentu ini tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi-aspirasi karena DPD hanya beranggotan beberapa orang saja, padahal seharusnya kaum minoritas mempunyai satu orang wakil di DPR agar, bayangkan saja jika suatu daerah yang berjumlah satu juta orang hanya diwakili oleh lima orang, apalagi masyarakatnya sangat heterogen, secara psikologis berbeda, secara historis pun berbeda dan banyak lagi perbedaan-perbedaan dalam suatu daerah, tentu hal ini akan memberikan sebuah pertimbangan yang sangat rumit oleh anggota DPD, apalagi DPD tidak mampu memutuskan hanya bisa mengajukan, tentu akan mengakibatkan keputusan dan kebijakan yang kurang strategis, Karen DPR yang memutuskan tidak terjun langsung ke daerah- daerah tersebut.
Dalam system dua kamar tentu hal ini belum dianggap sempurna karena keterbatasan DPD, sehubungan hal tersebut diatas, dalam megaktifan DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah, serta dalam meningkatkan peran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan RI  khusus dalam mewujudkan check and balance dalam hubungan antar lembaga pemerintahan, maka perlu ada perubahan dalam pasal-pasal tentang wewenang dan hak DPD, juga penyempurnaan pasal-pasal yang menyangkut masalah keangootaan DPD yang mewakili daerah propinsi tidak simbang dengan keanggotaan DPR. Ataupun paling tidak jika hal tersebut kurang memungkinkan, maka hal-hal yang menyangkut suara anggota DPD disetarakan dengan DPR, kedudukan DPD sejajar dengan kedudukan DPR dan di undangkan dalam UUD 1945.



[1] Pasal 33 no, 23 tahun 2003 (UU susduk)
[2] Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 pasaca-amandemen

0 komentar:

Posting Komentar