Pemerintahan adalah
sebuah wadah bagi masyarakat Indonesia dalam mewujudkan keinginan-keinginan
dalam mencapai sebuah kebaikan bagi seluruh masyarakat atau kebaikan bersama,
baik pemerintah pusat seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif atau
pemerintah daerah seperti legislative daerah dan eksekutif di daerah-daerah
yang menjadi bagian dari Negara, pemerintah daerah merupakan penyambung
aspirasi masyarakat kepada pemerintah pusat dalam menyampaikan hal-hal kebaikan
masyarakat daerah yang biasanya diajukan dalam bentuk rancangan undang-undang.
Namun yang paling
banyak perannya dalam menampung aspirasi rakyat dalam badan-badan pemerintahan
adalah badan legislative baik di pusat yang biasanya disebut Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau di daerah yang disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dalam
system legislatif banyak kita kenal dengan system satu kamar dan dua kamar,
system satu kamar adalah sistem
pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan
sistem satu kamar seringkali adalah negara kesatuan yang kecil dan homogen dan
menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu.
Dukungan terhadap sistem satu kamar
ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya demokratis, hal
itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga demokratis, dan karenanya
hanya merupakan duplikasi saja. Teori yang mendukung pandangan ini berpendapat
bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau merevisi undang-undang, dapat
dilakukan oleh komisi-komisi parlementer, sementara upaya menjaga konstitusi
selanjutnya dapat dilakukan melalui Konstitusi yang tertulis.
Dan system dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif
atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau
lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi
(House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedua system tersebut unicameral (satu kamar)
dan bicameral (dua kamar) terbentuk dengan waktu proses ketata negaraan yang
cukup panjang, menurut Bagir Manan, tidak terkait dengan landasan Negara,
bentuk Negara, bentuk pemerintahan tertentu.
Sebelum di-amandemennya UUD 1945 Indonesia
menganut system satu kamar, yang menjadikan MPR sebagai supremasi pemegang
penuh kekuasaan rakyat. Dalam hal ini berakibat ketimpangan dalam praktik
lembaga Negara lainnya, MPR menjadi superioritas yang berakibat kepada
eksistensi tiga kekuasaan lembaga (legislatif, eksekutif, yudikatif) menjadi
semu.
Di Indonesia dalam prakteknya menggunakan system
yang agak mendekati sitem dua kamar, setelah berhasil mengamandemen UUD 1945
dalam sidang umum MPR, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD.
Hilangnya predikat MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat, diikuti langkah besar lainnya yaitu dengan mengamandemen
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah ((DPD) yang kesemuanya dipilih melalui pemilu. Dalam
hal ini jelasi adanya Majlis Perwakilan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, DPR untuk mewadahi keterwakilan
rakyat secara terpusat, DPD mewadahi keterwakilan rakyat di daerah.
Usaha-usaha tersebut dilakukan agar
sepenuhnya Indonesia dapat melakukan demokrasi sepenuhnya, amandemen UUD
berimplikasi untuk diselenggarakannya pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, dan DPRD. Dalam dunia internasional setelah amandemen PM
Australia John Howard mengakui, bahwa sekarang Indonesia adalah Negara
demokrasi, oleh karena itu selayaknya menjadi anggota Security Council lapisan kedua, disamping, India, Jepang, Jerman,
dan Brasil.
Keberadaan
MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem
demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan
rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR
untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk
mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak
terabaikan
Prinsip
kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin
dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin
tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan,
prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution
of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti
kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and
balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Dalam
konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang
lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya
dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan
memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD
dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Namun
peran DPD tersebut hanya terbatas dalam memberhentikan presiden, namun jika
kita perhatikan dalam praktek bidang lainnya, DPD hanya memiliki kewenangan
yang sangat terbatas, hanya sebatas mengajukan, ikut membahas, dan melakukan
pengawasan, padahal kedudukan DPD adalah lembaga Negara[1].
Dalam
memberikan keputusan DPD sama sekali tidak mempunyai wewenang tersebut,
semuanya harus diajukan kepada DPR untuk disetujui, hal ini tentu akan
berakibat pada keterlambatan pengembangan daerah, karena hal yang demikian akan
memakan waktu yang cukup lama. DPD hanya membawa dalam bentuk dokumen saja
dalam membawa aspirasi daerah, itupun hanya berbentuk sebuah pertimbangan.
Dalam wewenang DPD saja misalnya, DPD mengajukan kepada DPR rancangan UU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah[2].
Padahal
DPD ini dipilih dalam pemilu legislative sama halnya dengan DPR, seharusnya DPD
mempunyai wewenang yang imbang dengan DPR, DPD mempunyai pengaruh yang
sedemikian besar terhadap kemajuan daerah yang menjadi tanggung jawabnya, kalau
semuanya harus diputuskan di Jakarta, tentu akan terjadi keterlambatan dalam
mengatasi aspirasi dan kekurangan-kekurangan daerah yang hal tersebut diketahui
setelah diadakannya reses oleh anggota DPD.
Dalam
hal keterwakilan daerah DPD membawa ratusan ribu orang, tentu ini tidak efektif
dalam mewujudkan aspirasi-aspirasi karena DPD hanya beranggotan beberapa orang
saja, padahal seharusnya kaum minoritas mempunyai satu orang wakil di DPR agar,
bayangkan saja jika suatu daerah yang berjumlah satu juta orang hanya diwakili
oleh lima orang, apalagi masyarakatnya sangat heterogen, secara psikologis
berbeda, secara historis pun berbeda dan banyak lagi perbedaan-perbedaan dalam
suatu daerah, tentu hal ini akan memberikan sebuah pertimbangan yang sangat
rumit oleh anggota DPD, apalagi DPD tidak mampu memutuskan hanya bisa
mengajukan, tentu akan mengakibatkan keputusan dan kebijakan yang kurang
strategis, Karen DPR yang memutuskan tidak terjun langsung ke daerah- daerah
tersebut.
Dalam
system dua kamar tentu hal ini belum dianggap sempurna karena keterbatasan DPD,
sehubungan hal tersebut diatas, dalam megaktifan DPD dalam memperjuangkan
kepentingan daerah, serta dalam meningkatkan peran DPD RI dalam sistem
ketatanegaraan RI khusus dalam
mewujudkan check and balance dalam hubungan antar lembaga pemerintahan, maka perlu
ada perubahan dalam pasal-pasal tentang wewenang dan hak DPD, juga
penyempurnaan pasal-pasal yang menyangkut masalah keangootaan DPD yang mewakili
daerah propinsi tidak simbang dengan keanggotaan DPR. Ataupun paling tidak jika
hal tersebut kurang memungkinkan, maka hal-hal yang menyangkut suara anggota
DPD disetarakan dengan DPR, kedudukan DPD sejajar dengan kedudukan DPR dan di
undangkan dalam UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar